“Aku dulu banyak mengagumi tokoh. Namun, setelah ada media sosial dan mengetahui bagaimana mereka bersikap terhadap berbagai persoalan, ilang kabeh… Aku kecewa. Kapasitas mereka ternyata cuma segitu.” Kalimat itu meluncur dari mulut sahabat saya, Irfan Afifi, dua malam sebelum pemilihan presiden kemarin. Kami berbincang hingga larut di sebuah kedai kopi, malam itu, ditemani seorang kawan lain, David Setiawan, yang sedang galau dengan urusan kelaminnya. Apa yang disebut sebagai “tokoh” oleh Irfan tak lain adalah apa yang tempo hari sering disebut sebagai “intelektual”. Irfan, sebagaimana juga saya dan David, terutama memang mengimajinasikan kaum intelektual sebagaimana yang kami lihat pada kaum intelektual Indonesia tahun 1970-an hingga awal 1990-an, yang kami kenal melalui media-media yang mengisi masa remaja kami, seperti Prisma, Ulumul Quran, Analisa CSIS, atau Kalam, untuk menyebut beberapa. Dan nama-nama yang dikecewainya adalah nama-nama yang pasti banyak kita kenal.