Ketika Habibie menjabat presiden, ia pernah disodori proposal tata kelola energi. Intinya, tata kelola energi di Indonesia selama ini keliru. Indonesia mengimpor BBM yang mahal dan malah mengekspor gasnya secara murah. Kita tahu, harga BBM, selain fluktuatif, memang sangat mahal, sementara cadangan minyak Indonesia sendiri hanya sedikit. Di lain pihak, harga gas di pasar dunia itu murah, sementara Indonesia memiliki cadangan gas yang melimpah. Pilihan mengimpor BBM dan mengekspor gas jelas merupakan pilihan tata kelola energi yang bodoh.
Habibie senang sekali disodori ide itu. Namun, kita tahu, umur rezim Habibie hanya pendek saja. Dan dalam periode yang pendek itu, pemerintahannya lebih banyak disibukkan oleh akrobat politik "politisi reformis". Proposal itu pun hilang ditelan waktu.
Sudah lima belas tahun sejak pemerintahan Habibie berakhir dan kita bisa menyaksikan bahwa soal tata kelola energi ini masih saja dikambinghitamkan pada isu subsidi BBM, seolah di situlah letak persoalannya. Isu subsidi BBM merupakan cara para pelaku pasar dan para kompradornya untuk mendikte kita agar menerima liberalisasi di sektor hilir migas.
Jika sektor hilir migas kita berhasil diliberalisasi, maka lengkap sudah, dari hulu ke hilir kita sekadar menjadi konsumen. Meskipun kita memiliki BUMN di bidang minyak, yaitu Pertamina, faktanya sumur minyak yang dikuasai oleh BUMN kita itu tak lebih dari 10 persen. Sembilan puluh persen sumur minyak kita dikuasai oleh perusahaan asing dan swasta nasional. Begitulah posisi kita di sektor hulu migas.
Apa yang terjadi jika hulu dan hilir migas ini sudah diliberalisasi, dan kita sudah terlanjur mengekspor seluruh cadangan gas?
Sejak Dewan Energi Nasional (DEN) terbentuk pada 2007, saya mencatat ada hal yang ganjil dari isu-isu energi yang diproduksi oleh lembaga yang mempertemukan pemerintah, akademisi, praktisi dan pelaku usaha ini. Mereka lebih getol melakukan sosialisasi soal energi nuklir daripada melakukan elaborasi mengenai potensi energi yang dimiliki Indonesia sendiri.
Kita tahu, selain memiliki cadangan gas yang melimpah, kita juga memiliki potensi sumber energi yang beraneka. Melompati perbincangan mengenai sumber-sumber energi tadi dan langsung berbicara mengenai nuklir tentu saja membuat kita harus mengernyitkan dahi. Nuklir bukanlah skenario energi masa depan, melainkan skenario energi bagi negara-negara yang tak memiliki cadangan dan sumber energi yang melimpah. Tapi Indonesia memiliki semua potensi dan cadangan itu, lalu kenapa kita langsung melompat ke sana? Apakah itu dimaksudkan untuk menjadikan kita sebagai konsumen terus-menerus?
Pendek kata, kita harus menolak intimidasi intelektual bahwa kita membutuhkan kenaikan harga BBM untuk menolong negara. Kita sedang terkena "sindrom kodok rebus" jika mau menerima intimidasi itu.
Setiap rezim yang menjadikan penarikan subsidi BBM sebagai titik pangkal pemerintahannya, bukanlah rezim yang bisa kita percayai akan bekerja keras dengan sungguh-sungguh untuk rakyatnya. Sudah lima belas tahun sejak Habibie disodori skenario tata kelola energi itu. Dan itu waktu yang cukup lama untuk berpikir dan memahami persoalan. Jika pemerintah dan para teknokratnya masih saja menjadikan isu subsidi BBM sebagai pokok persoalan, mereka adalah para pemalas yang enggan berpikir dan bekerja keras.
Kita baru saja melewati Pilpres yang menggairahkan dan penuh harapan. Dari pengalaman sejarah kita tahu betul, tak ada perubahan yang dimulai dari klise. Tak pernah ada!
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar