Kata universitas berasal dari bahasa Latin, "universitas magistrorum et scholarium", universitas adalah komunitas guru dan murid. Sebab itu, tugas pokok universitas adalah melakukan kegiatan pendidikan. Tentu saja, kegiatan pendidikan di universitas berbeda dengan kegiatan pendidikan pada jenjang di bawahnya, yang hanya menekankan pengajaran, alias 'delivery of stocks'. Persis di sini kita sering mengabaikan adanya jarak pengertian yang sangat jauh antara terma "pendidikan" dengan "pengajaran".
Kegiatan pendidikan di universitas adalah untuk menghasilkan para sarjana yang mampu berpikir sistematis, analitis, dan holistis, sehingga pada jenjang ini ilmu pengetahuan bukan hanya didiseminasikan sebagai produk saja, melainkan juga diolah dan dipersoalkan sebagai proses, sehingga pada akhirnya di dalam lingkungan universitas terbangun sebuah komunitas ilmiah. Pada tugas pokoknya ini, kalau kita mau jujur, universitas-universitas kita banyak gagal menjalankan fungsinya.
Dominannya kegiatan pengajaran di universitas kita tentu saja adalah sebuah persoalan. Namun, itu tidak menjadikan terma "riset" berhak mereduksi makna pendidikan di dunia universiter.
Cara kita membahas persoalan riset ini seringkali tak ada bedanya dengan bagaimana biasanya para birokrat pendidikan menanggapi isu soal pendidikan karakter: menambah jam pelajaran agama. Rencana menggabungkan Dirjen Dikti dengan Kementerian Ristek tak beda jauh dengan pola pikir tadi, yang parsial, reduksionis dan pragmatis.
Ketika ide ini pertama kali disuarakan oleh para petinggi Forum Rektor Indonesia (FRI), Februari 2014 silam, gagasan ini pun awalnya tidak berasal dari kalangan pendidik, melainkan dari Ketua DPD Irman Gusman. Dan selain para elite FRI, sebagaimana dipersaksikan, misalnya, oleh Rektor Universitas Soegijapranata, para rektor pada umumnya sebenarnya banyak mengernyitkan dahi mendengar gagasan ini.
Cukup jelas, gagasan memisahkan urusan pendidikan tinggi menjadi sebuah kementerian tersendiri sebenarnya lebih banyak mewakili kepentingan para birokrat pendidikan, baik di kementerian, maupun yang jadi pemimpin perguruan tinggi. Latar belakangnya adalah logika administratif dan birokratik, tidak berangkat dari gagasan substantif yang korek.
Hanya saja, yang mengherankan, hanya sedikit sekali kalangan pendidik di universitas yang melibatkan diri dalam perbincangan ini.
Sebelumnya kita juga patut bertanya, kenapa di tengah karut-marut persoalan pendidikan di tanah air, mulai dari polemik soal PT BHMN lima belas tahun silam, UU BHP, hingga terakhir soal BLU, suara para akademisi kampus juga seperti tidak terdengar. Diskusi publik terkait persoalan-persoalan tadi lebih banyak diisi oleh para guru dan aktivis pendidikan.
Itu hanya bisa terjadi karena dua kemungkinan. Pertama, karena para akademisi kampus memang tidak peduli dengan isu-isu itu. Mereka merasa hidup dalam lingkungan pendidikan yang ekslusif, yang berlainan dan tak terkait dengan lembaga pendidikan di bawahnya.
Kedua, dan ini yang paling fatal, adalah karena para akademisi kampus umumnya memang tidak paham soal pendidikan! Bukankah sudah bukan merupakan rahasia lagi jika, meski ini hal teknis, kemampuan pedagogi para dosen seringkali lebih rendah dari para guru pada umumnya?!
Jika kondisinya begitu, percayakah Anda bahwa pemisahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi dua kementerian sebagaimana tengah dirancang oleh pemerintahan baru adalah pilihan yang korek dan akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik bagi dunia pendidikan kita?
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar