Ada dua "Charlie". Charlie Chaplin dan Charlie Hebdo. Keduanya sama2 lucu. Menggemaskan. Mengundang orang tertawa, walaupun dengan senyum kecut. Keduanya satirik. Mengusik kenyamanan, menggugah orang untuk tak dogmatis, dan terkadang membuat penguasa tak nyenyak tidur. Keduanya membuka mata bahwa humor punya tempat dalam kehidupan, dan sah sebagai medium politik.
Tapi para penguasa fasis dan kelompok fanatikus rata-rata sakit gigi dan susah tersenyum. Humor, bagi mereka, adalah senjata untuk menikam. Sebagai balasannya, humor harus dibungkam, kalau perlu ditiadakan. Tak boleh ada orang yang tertawa atas "status quo".
Tentu banyak kalangan beragama tersinggung atas cara Charlie Hebdo menyajikan karikatur-karikaturnya. Tapi kebesaran figur-figur agama yang dikarikaturkannya -- Nabi Muhammad SAW, Yesus (Isa al-Masih) AS -- tak akan berkurang karena ulah usil anak-anak muda cerdas itu. Terlalu besar keagungan mereka dinilai dari coretan-coretan karikatur. Dan karena itu, kaum beragama sebaiknya tak perlu sewot. "Ampunilah mereka karena mereka tidak tahu, ya Tuhan", doa Rasul suatu saat untuk kaumnya yang menyakitinya.
Kita layak berbahagia bahwa kaum Muslim moderat di Prancis, hari-hari ini bersatu-padu bersama seluruh rakyat Prancis bersolidaritas atas Charlie Hebdo. Mereka menunjukkan bahwa ini bukan soal agama. Ini soal hak yang tak kalah fundamental, yang tanpanya agama tak bisa tegak dalam sebuah negeri atau Republik, yaitu hak untuk berekspresi.
Juga hak untuk merawat akal sehat dengan humor.
(Muhammad Al-Fayyadl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar