Kadang ada pernyataan-pernyataan yang dikatakan dengan maksud baik, tapi dengan dibumbui dongengan dan interpretasi yang mengundang “sesat-pikir”, tanpa mengatakan bahwa itu adalah interpretasinya secara pribadi atas sejarah. Maksudnya baik, untuk memperingatkan generasi muda akan paham-paham ekstrem. Tapi caranya mengemas peringatan dengan bumbu-bumbu cerita membuat pernyataan itu menjadi sulit dipertanggungjawabkan.
Ini cerita dari semalam menonton sebentar pengajian Pak Agus Sunyoto di “Aswaja TV”. Kebetulan yang dibicarakan adalah soal ideologi-ideologi. Ada dua lontaran Pak Agus yang menggelitik. Pertama, ceritanya tentang pertentangan antara kubu Islam dan kubu Komunis. Ia merunut sampai awal 1920-an pada sejarah Sarekat Islam (SI) yang terpecah menjadi “SI Putih” dan “SI Merah”. Menurutnya, perpecahan ini karena “SI Merah” fanatik dengan komunisme yang ateistik, yang mengharuskan mereka berpisah dari “SI Putih” yang tetap konsisten pada Islam. Jadi, menurut Pak Agus, ateisme adalah faktor utama dari perpecahan kubu komunis di tubuh SI. Watak ateistik komunisme yang tidak dapat berkompromi dengan agama mengharuskan pemisahan mereka dari kubu Islam. Sejak itulah kaum komunis dikenal sengit dan anti terhadap agama, sebaliknya Islam tidak dapat didamaikan dengan komunisme.
Apa benar demikian? Sangat sulit mempercayai kebenaran interpretasi ini. Jika dibaca lagi sejarah SI, perpecahan mereka pada awalnya didorong lebih karena faktor-faktor manajerial karena ketidakdisiplinan Semaoen serta para pimpinan kelompok yang kemudian disebut “SI Merah”, selain juga faktor-faktor pribadi ketidakcocokan di antara pimpinan pusat SI (CSI, “Centraal Sarekat Islam”). Semaoen dianggap indisipliner dan melanggar ketentuan Sarekat dengan memiliki jabatan ganda di ISDV (cikal bakal PKI), sebagai sekretaris ISDV. Tapi jauh sebelum itu, ada juga faktor Marco Kartodikromo. Marco ditangkap atas pemuatan empat artikelnya di harian “Doenia Bergerak” yang mengecam pemerintahan Belanda. Menanggapi penangkapan itu, pimpinan CSI sama sekali bergeming dan malah mengucapkan rasa syukur atas penangkapan Marco, sesama kadernya. Kontan Semaoen, Darsono, dan Marco sendiri kecewa dengan sikap pimpinan CSI yang tidak membela kadernya.
Faktor agama, lebih-lebih tuduhan ateisme, belakangan sekali menjadi faktor. Definisi “Islam” versus “ateisme” itu terjadi belakangan pada Kongres SI di Madiun 1923, oleh H. Agoes Salim yang melihat Marxisme pada dirinya bertentangan dengan Islam, dan ateistik. Pandangan H. Agoes Salim ini sebenarnya agak ganjil, karena Semaoen, Darsono, serta lain-lain sebelumnya tidak memiliki masalah dengan Islam, dan dalam tulisan-tulisan mereka, tidak ada pernyataan yang mengkritik atau menistakan Islam. Fokus mereka sebelumnya adalah kapitalisme Hindia-Belanda dan bagaimana mempelajari Marxisme untuk melakukan suatu pendekatan politik atas kapitalisme itu. Pada titik ini muncul persoalan. Makna “Islam” yang sebelumnya bebas ditafsirkan para kader SI, sejak itu mulai dibakukan, didisiplinkan, dan diformalkan oleh H. Agoes Salim untuk menciptakan suatu oposisi hitam-putih antara Islam versus komunisme. Sebelum pandangan itu mengeras menjadi sikap resmi Sarekat, Semaoen dan kawan-kawannya bernegosiasi dengan H. Agoes Salim serta pimpinan CSI lain agar kebijakan Sarekat tetap membolehkan kader SI merangkap menjadi anggota PKI. Namun usulan ini ditolak mentah-mentah. Dalam forum kongres, H. Agoes Salim berpidato lantang bahwa PKI membahayakan kesatuan umat Islam.
Jika peristiwa di atas direfleksikan, kita pasti mengerti kekecewaan kubu yang kemudian disebut “SI Merah” itu terhadap sikap para tokoh Islam di SI, yang pada akhirnya berujung pada eksklusi mereka dari SI. Bungkamnya tokoh SI atas penangkapan Marco, lalu penolakan mentah-mentah usulan diplomatis Semaoen agar kader SI dapat merangkap sekaligus kader PKI, tentu mengakumulasi kekecewaan-kekecewaan mendalam dan memperkeras militansi mereka.
Jadi, para tokoh Islam seperti H. Agoes Salim memiliki saham dalam mendorong kaum komunis mengalami radikalisasi, dan pada gilirannya semakin menjauh dari Islam. Radikalisasi kaum komunis tidak lepas dari eksklusi dan penyingkiran mereka untuk “ikut memiliki” Islam. Sejarah akan berbeda andaikan tokoh seperti H. Agoes Salim mau memberi kesempatan kepada kalangan yang lebih muda seperti Semaoen untuk memainkan perannya di SI dan PKI. Mungkin Semaoen akan memberi warna “Islam” pada tubuh PKI, sehingga sikap-sikap frontal PKI terhadap kalangan Islam beberapa dekade kemudian, terutama pada tahun 1940-an di bawah kepemimpinan Musso, tidak terjadi.
Ini akan menjadi introspeksi yang menarik, karena sikap “mereka” tidak lepas dari sikap “kita” terhadap “mereka”. Tapi cara Pak Agus Sunyoto menarik demarkasi hitam-putih antara Islam versus Komunisme mengulang lagi blunder H. Agoes Salim dengan mengeksklusi “mereka” atas nama kebenaran “kita”. Fakta-fakta di atas dapat mudah dicek dalam buku Takashi Shiraishi, “Zaman Bergerak” (Grafiti, 1997) dan buku Zainul Munasichin, “Berebut Kiri: Pergulatan Marxisme Awal di Indonesia 1912-1926” (LKiS, 2005).
Lontaran Pak Agus yang kedua, mengenai ceritanya tentang Freemason. Menurutnya, semua tokoh sosialis dan komunis di Indonesia dari zaman dulu adalah agen-agen Freemason. Mengenai ini, penulis tidak tahu harus mengatakan apa. Lucu saja mendengarnya. Mudah-mudahan saja itu sekadar dongeng untuk pengantar tidur.
(Muhammad Al-Fayyadl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar