Kita terus mengalami gejala deindustrialisasi, dimana sumbangan sektor manufaktur terhadap PDB terus menurun. Dan liberalisasi harga BBM serta tarif listrik telah membuat industri manufaktur kita semakin terpukul. Kenaikan tarif listrik sepanjang 2014, misalnya, telah memukul Krakatau Steel, salah satu BUMN kita yang bergerak di bidang industri dasar yang vital, yaitu produksi baja.
Saat ini kebutuhan baja nasional sekitar 60 persennya sudah dikuasai produk impor, karena harga produksi baja nasional tak bisa bersaing dengan produk baja impor. Bagi industri manufaktur, biaya energi merupakan komponen terbesar kedua sesudah bahan baku. Sebagai gambaran, ketika Malaysia mematok harga listrik untuk industri USD 6 sen per kWh, dan Vietnam USD 7 sen per kWh, tarif listrik untuk industri kita USD 9 sen per KWh. Bagaimana industri manufaktur kita bisa survive dengan beban biaya energi yang lebih mahal tersebut?!
Oleh karenanya, menyambung reaksi keras Pertamina atas rencana pembangunan pelabuhan di Karawang, yang dikhawatirkan akan merusak infrastruktur migas yang ada di kawasan tersebut, kita juga patut melontarkan pertanyaan yang sama: di tengah gejala deindustrialisasi, pembangunan infrastruktur laut itu sesungguhnya dibuat untuk kepentingan siapa?!
Bagi orang Karawang sendiri, rencana pembangunan pelabuhan harus ditolak. Rencana pembangunan pelabuhan itu telah membuat para petani tambak di pantai utara Karawang kehilangan tanahnya, karena tergiur oleh iming-iming harga tanah yang tinggi dari para cukong dan tuan tanah yang berkeliaran. Mereka, yang sebelumnya merupakan petani pemilik, kini hanya tinggal jadi petani penggarap, atau penyewa. Begitu juga dengan para nelayan Karawang. Mereka, yang tak punya keterampilan lain selain melaut, merupakan kelompok sosial yang paling terancam hidupnya akibat rencana pembangunan pelabuhan tersebut.
Selama ini Karawang dikenal sebagai lumbung beras dan lumbung industri. Selain itu, bersama dengan Cirebon dan Indramayu, Karawang juga merupakan sentra industri migas di Jawa Barat. Ironisnya, tiga daerah kaya tersebut Indeks Pembangunan Manusia-nya selalu merupakan lima terbuncit di Jawa Barat. IPM ketiga daerah tersebut bahkan berada di bawah rerata IPM Provinsi Jawa Barat. Sungguh ironis.
Kita tahu, konsultan proyek pelabuhan di Karawang adalah Japan International Cooperation Agency (JICA), dan gagasan tol lautnya Jokowi sebenarnya hanyalah bayangan dari agenda pembangunan "jalur sutera laut"-nya Xi Jinping. Penguasa RRC itu bahkan sudah me-launching gagasan itu saat kunjungannya ke Indonesia pada 2013 silam.
Kunjungan Jokowi ke Jepang dan Cina mulai hari Minggu, 22 Maret 2015 kemarin, yang persis belum genap seminggu sesudah kunjungan Jusuf Kalla ke Jepang pada 12-17 Maret 2015 lalu, memang patut disambut dengan dahi mengernyit.
Sekali lagi, ketika negara kita mengalami gejala deindustrialisasi, lalu apa yang sedang/akan dijual presiden?!
Status Facebook Tarli Nugroho, Senin, 23 Maret 2015 pukul 12:09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar