Hal yang kerap saya temui saat melintasi sebuah kota atau daerah adalah menjamurnya komunitas fotografi, videografi, action camera, bahkan drone.
Di sisi lain ada masalah-masalah di daerah itu --entah soal tata ruang, layanan publik, atau masalah lingkungan-- yang ketika mencari referensi visualnya, justru sangat terbatas. Kalau tak bisa dibilang buta sama sekali. Paradoks terbesar dari sebuah daerah yang justru memiliki 'banyak mata'.
Lalu kita bertanya, apakah komunitas-komunitas itu terlalu sibuk dengan dirinya sendiri atau terpikir juga untuk membantu advokasi visual masyarakat. Terutama setelah kita tak selalu dapat mengandalkan media?
Sebab tak jarang anak-anak komunitas memiliki gadget dan skill di atas rata-rata media. Dan jiwa dari komunitas adalah kebersamaan dan gotong-royong. Lalu dapatkah nilai ini merembes ke luar dari lingkungan pergaulannya sendiri?
Tapi tiap komunitas memang memiliki sejarahnya. Ada yang lahir dari inisiatif-inisiatif personal dengan kesamaan minat, ada yang diciptakan oleh industri untuk kepentingan pemasaran atau promosi produk. Ada juga yang jenis pertama, tapi telah dikuasai oleh jenis kedua. Seperti halnya sebagian blogger yang 'mati muda' digerus iming-iming komersial. Ini bukan soal benar salah. Ini soal pilihan.
Karenanya pada jenis ini, kita tak bisa berharap banyak. Sebab puncak pencapaian kreatifnya kadang hanya sebatas apakah karyanya bisa ditampilkan untuk memperkuat pemasaran produk 'tuannya'.
Maka, di luar urusan penyaluran hobi dan mengasah kreativitas, benarkah tujuan kita berkamera hanya untuk kepuasan pribadi atau menangguk 'like' terbanyak di social media? Bila itu yang terjadi, maka memang tak ada bedanya kita dengan media yang kerap kita kritik. Mereka 'rating' dan "hits', kita 'like".
Dan lensa kamera itu, lebih banyak menghadap ke diri sendiri atau masyarakat?
Ekspedisi Indonesia Biru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar