Dilema klasik yang masih dihadapi banyak keluarga petani di Indonesia, ketika dihadapkan pada pilihan untuk mengirim anaknya ke sekolah formal atau mendidiknya di ladang untuk membantu aktivitas ekonomi.
Ini adalah kelas jauh SDN 7 Biluhu, di Dusun Mohungo, Desa Biluhu Timur, Kecamatan Batudaah Pantai, Kabupaten Gorontalo.
Sebelum ada bangunan ini, rata-rata hanya setengah dari 38 kepala keluarga yang mengirim anaknya ke sekolah karena jarak dengan SD terdekat sekitar tiga kilometer dengan medan pegunungan.
Lalu pada 2012, warga mewakafkan sepetak tanah dan menyumbang kayu, agar sekolah ini berdiri, meski hanya sampai kelas 3 saja. Sedangkan pemerintah membantu seragam, buku, dan dua guru yang bergantian datang.
Siswa Kelas 1 dan Kelas 2 duduk di baris bangku sebelah kanan, dan Kelas 3 duduk di deretan kiri, di ruang kelas yang sama. Dengan guru yang sama.
Pun begitu, hanya separuh dari murid kelas jauh ini yang melanjutkan ke Kelas 4 di SD induknya.
"Yang lain tidak, karena yang penting sudah bisa baca, tulis, dan berhitung. Karena warga di sini sebagian besar bertani," ujar Kepala Dusun Mohungo, yang beranda rumahnya pernah disulap jadi kelas darurat.
Saat ini, dari 21 siswa, ada dua siswa umur 20 tahun yang masih duduk di Kelas 3, sekedar agar bisa membaca, menulis, dan berhitung.
Tiga kemampuan dasar ini juga yang diajarkan keluarga pengikut ajaran Samin (Sedulur Sikep) di Jawa Tengah, yang menolak mengirim anaknya ke sekolah formal.
Sedangkan warga Baduy yang juga tak bersekolah, hanya mengajarkan berhitung sebagai ilmu dasar bagi anak-anak mereka.
"Selebihnya sekolah di ladang. Belajar pertanian," ujar Sapri, warga Baduy Dalam.
Lain lagi warga Boti di pulau Timor. Bila di sebuah keluarga ada dua orang anak, hanya satu yang akan dikirim ke sekolah formal. Yang lain akan dididik secara adat, karena sistem pendidikan nasional dianggap ancaman pada kelangsungan tradisi dan sistem nilai mereka.
(Dandhy Dwi Laksono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar