Ada kecenderungan di kita untuk melarikan persoalan apapun kepada sistem. Dulu, karena semua anggota Utusan Daerah dan Golongan di MPR dipilih oleh presiden, kita kemudian mengubah sistem tersebut menjadi bikameral, padahal problemnya lebih terletak di penyalahgunaan wewenang pengangkatan oleh Soeharto tadi.
Penyalahgunaan yang kurang lebih mirip terjadi dalam hal penyusunan GBHN. Meski konstitusi kita dulu menyebut bahwa Presiden adalah mandataris MPR, dan presiden bekerja berdasarkan arahan GBHN, yang mestinya disusun oleh MPR, dalam praktiknya sejak 1968 GBHN justru disusun oleh eksekutif itu sendiri, melalui Lemhanas. Hal itu tentu saja telah menurunkan derajat MPR dan memunculkan kerancuan dalam tata negara kita. Soeharto melakukan itu pada 1968 sebenarnya untuk menelikung dan menggunting kewenangan Nasution, yang pada masa itu kebetulan memang memimpin MPRS. Hanya saja, preseden yang keliru itu kemudian terus dilembagakan hingga penyusunan GBHN 1993.
Jadi, kekacauan tata negara tadi apakah merupakan bawaan sistem, yaitu UUD 1945, atau lebih merupakan produk penyelewengan rezim yang kasuistik?!
Sesudah Reformasi, kecenderungan "executive heavy" di masa Orde Baru kemudian direspon oleh kita dengan amandemen UUD 1945, yang kemudian memberikan warna sebaliknya, yaitu "legislative heavy". Begitu juga dengan model pemerintahan sentralistik ala Orde Baru, kemudian direspon dengan diobralnya otonomi di lebih dari lima ratus kabupaten dan kota.
Begitulah cara kita merespon berbagai persoalan tata negara selama ini: membangun sistem dengan logika anti-tesis dan terlalu cepat melarikan persoalan apapun sebagai masalah sistem.
Sesudah empat kali amandemen UUD 1945, misalnya, hampir semua ahli tata negara berpendapat bahwa kita kini sepenuhnya telah menerapkan sistem presidensial. Empat kali amandemen telah mempurifikasi sistem presidensial, yang sebelumnya hanya bersifat semi-presidensial. Masalahnya adalah, karena kebetulan sesudah Reformasi kita dipimpin oleh para presiden yang lemah karakter dan leadership-nya, sistem presidensial itu tak bisa berlaku efektif, hingga hari ini.
Jadi, dalam kaitannya dengan sistem, masalah inefektivitas tadi adalah masalah sistem, ataukah masalah leadership? Tentu saja konyol jika kita melarikan persoalan tadi sebagai masalah sistem!
Oleh karenanya, menyimak beberapa pernyataan Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD pekan lalu yang menyuarakan kembali perlunya amandemen UUD 1945 dengan titik berangkat kritik mengenai terlalu besarnya kewenangan DPR, saya cuma bisa mengernyitkan dahi. Ternyata kita tak cukup belajar dari kesalahan model tambal sulam di masa lalu ketika membangun sistem bernegara.
Kita mungkin perlu amandemen, tapi bukan atas titik berangkat yang telah dikemukakan Jimly dan Mahfud tadi. Lagi pula, mengingat masih rendahnya mutu dan kepercayaan terhadap partai politik dan parlemen, menggaungkan lagi soal amandemen adalah soal gegabah.
Lha, bikin undang-undang saja anggota parlemen kita bablas, kok disuruh mikir soal undang-undang dasar?! Mestinya kita bicara tentang perbaikan partai dan rekrutmen politik dulu sebelum bicara tentang amandemen konstitusi.
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar