Rencana penurunan harga BBM merupakan langkah impulsif untuk menyelamatkan muka pemerintah di tengah buruknya kinerja mereka dalam satu tahun terakhir. Jangan lupa, bulan ini adalah bulan evaluasi satu tahun pemerintahan Jokowi.
Dengan latar demikian, kita bisa melihat bahwa rencana penurunan harga itu sama sekali tidak menjadi bagian dari protokol krisis untuk menyelamatkan perekonomian.
Kenapa begitu?!
Karena persis di situ kemudian muncul persoalan lain: bagaimana pemerintah akan menutup celah anggaran akibat rencana penurunan harga BBM itu?
Pemerintah baru saja menambah jumlah utang luar negeri kepada World Bank dan Asian Development Bank sebesar USD4,5 miliar. Padahal, untuk melepaskan diri dari tekanan anggaran dan depresiasi nilai tukar, sekaligus agar APBN bisa leluasa digunakan untuk menstimulus perekonomian domestik, pemerintah bisa saja membuka skenario untuk menunda atau merenegosiasi pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri hingga beberapa tahun ke depan, karena inilah yang selalu membebani APBN kita tiap tahun. Tapi nyatanya itu tak pernah dilakukan, bahkan dalam situasi krisis seperti sekarang.
Jadi, satu kebijakan populis, seperti rencana penurunan harga BBM tadi, jika tidak ditopang oleh kebijakan lainnya yang terkait dan bersifat lebih struktural, tidak akan berdampak sistematis bagi perekonomian yang sedang terpuruk. Dengan begitu juga jadi jelas kelihatan, bahwa model kebijakan pemerintah hingga hari ini ternyata masih bersifat tambal sulam, yang sedikit banyak menunjukkan jika mereka sebenarnya tidak siap untuk menangani krisis.
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar