Di ruangan ini, setidaknya ada tiga orang yang mendominasi percakapan. Seorang laki-laki mungil, rapi, kelimis, dengan nada bicara yang cepat, lalu seorang perempuan berambut panjang, dengan kalung manik-manik yang memikat, dan suara yang, menurutku cukup berwibawa, serta laki-laki gempal, berkumis lebat, dengan rambut berombak sebahu, bersuara bariton. Sementara beberapa orang lain hanya sekali dua menyela. Sesekali menimpali. Sesekali bertanya. Dan lebih sering tertawa.
Om Tan duduk di salah satu sudut. Dia tentu saja lebih banyak diam dan mendengar sebagaimana kebanyakan yang lain. Tapi dari gestur dan sorot matanya, aku bisa memastikan, dia lebih banyak memberikan kesempatan orang lain bicara.
Berulang kali, laki-laki kelimis itu bicara tentang masa lalu kejayaan negeri ini. Hal yang sepuluh tahun terakhir cukup banyak mendapatkan tempat. Tentang Gunung Padang, tentang Lemuria, Atlantis yang hilang, Majapahit yang lebih dahsyat dari apa yang ada di buku sejarah.
Tema seperti ini sesungguhnya tak menarik amat bagiku. Pikiranku cenderung cekak, kalau masa lalu itu hebat dan agung, lalu masa sekarang tak menunjukkan semua sisa itu, apalah gunanya. Amerika bangsa muda. Suka atau tidak, dia menguasai dunia. Aku sih tak keberatan leluhurku begitu agung dan dahsyat. Tapi kalau anak turun mereka tak jaya, mungkin ada yang keliru dengan mereka.
Tapi tentu semua pikiranku itu tak kuceploskan di forum ini. Aku cukup punya adab.
Perempuan dengaan suara berwibawa itu yang justru bertanya, kenapa bangsa hebat ini, demikian katanya, punya rentetan sejarah kelam? Saling bantai antara raja satu dengan yang lain, raja dengan anak, pemberontakan, penghancuran sejarah jika penguasa baru muncul, relatif mudah dijajah, dan membantai rakyat serta saudara mereka sendiri secara mengerikan di tragedi 1965.
Si Klimis itu kemudian menjawab, justru dengan itu, maka keterpurukan bangsa ini harus diselesaikan. Salah satu caranya adalah menemukan kembali segala yang agung di masa lalu, sehingga seluruh kepercayaan diri bangsa ini terangkat kembali.
Absurd, kata perempuan berambut panjang, yang mungkin berusia 50an tahun itu. Apanya yang mau digali? Kini saban hari justru yang terjadi penindasan yang makin tak terperi. Saling bantai yang tak dapat dimengerti. Tragedi Jakarta dengan kasus pemerkosaan para perempuan di tahun 1998, kerusuhan Maluku, Kalimantan, sampai pembantaian Salim Kancil. Jangan-jangan memang kita bangsa biadab?
Kalimat perempuan itu, tak urung membuat semua orang di forum itu jenggirat. Tak siap.
Om Tan seperti biasa, sesekali melepas kacamatanya. Menyalakan kreteknya. Menyeruput kopinya, dengan gaya seakan seperti hanya menempelkan bibirnya di bibir cangkir. Kalau cara itu yang dilakukan, sampai besok sore aku yakin kopi di cangkirnya tak akan habis.
Tiba-tiba laki-laki gempal dengan rambut berombak itu berkata, tapi semua itu membuat kita menjadi orang yang eling dan waspada. Dijajah kolonial, dihisap penguasa lokal, ditipu terus oleh elit politik. Semua itu memunculkan sikap kewaspadaan yang terus diwariskan.
Waspada atau curiga, sahut sekaligus tanya perempuan berambut panjang.
Kamu terlalu nyinyir kepada bangsamu sendiri, tukas Si Klimis.
Aku hanya mengkritisi semua omongan dan tesis-tesismu, jawab perempuan itu kalem.
Kamu masih mewarisi mental inlander. Tak percaya diri dengan kekuatan bangsamu sendiri. Kembali Si Klimis merangsek.
Kamu tahu enggak, perempuan itu bicara sambil mengacungkan pulpen yang dipegangnya, ada kemungkinan lain yang tak kamu pikirkan. Pikiranmu yang serba wah atas masa lalu, bisa jadi hanyalah candu yang sengaja kamu nikmati untuk lari dari kenyataan bangsamu.
Wah, ini alamat pertengkaran keras bakal terjadi. Batinku.
Dan benar, perdebatan makin sengit. Makin keras. Tiba-tiba orang-orang di dalam ruangan itu seakan terbelah. Sebagian di kubu laki-lali klimis. Sebagian di kubu perempuan berambut panjang. Laki-laki gempal, Om Tan, dan aku, tak bergabung dalam kedua kubu itu.
Perdebatan berpusing. Dari itu ke itu lagi. Saling putar dan pilin dalam kata.
Dalam situasi kepala yang pusing dan lelah, aku mulai tersadar, ini sebetulnya forum apa? Mengapa mereka bertemu? Untuk apa?
Mendadak aku merasa menyesal masuk ke ruangan ini. Karena energiku yang nyaris habis, dan emosiku yang terkuras, makin habis dan terkuras.
Dan baru kusadari, Izon tak ada di ruangan ini. Kupikir dia keluar sebentar untuk kencing. Tapi tak balik dari tadi. Bajingan. Pasti dia asyik menunggu di luar. Tahu begitu aku juga pura-pura kencing lalu ngeblas pulang. Hanya memang bakal tak enak dengan Om Tan.
Terus apa solusimu? Tanya perempuan itu. Kamu mau menggali yang kamu pikir piramida purba dan menguras laut untuk menemukan ilusi Atlantismu itu? Lalu ketika kamu sadar, semua hal di negeri ini sudah rontok?
Lha memang kamu bisa melakukan apa untuk negeri ini? Damprat laki-laki yang mukanya mulai memerah itu.
Perempuan itu diam. Dia meringkasi tasnya. Kupikir dia akan pergi. Tapi ternyata itu semacam isyarat bahwa usai melayangkan pertanyaan terakhir itu, dia hanya diam dan mendengarkan. Tak tertawa. Tak bertanya.
Obrolan kemudian berlanjut. Walaupun tampak kaku. Tapi yang jelas, aku adalah orang yang mungkin paling sebal berada di ruangan ini. Semua berkebalikan dengan apa yang kupikir ketika beberapa jam lalu Om Tan mengajakku bergabung dalam obrolan ini.
Di tengah situasi yang agak kaku itu, tiba-tiba beberapa orang masuk. Terjadi sedikit keributan. Anehnya, tubuhku terasa menempel di kursi. Seakan hanya ingin menonton semuanya.
Laki-laki klimis, perempuan berambut panjang, orang gempal berkumis, Om Tan, dan orang-orang lain yang tadi saling berseberangan, mendadak seperti bersatu.
Aku mendengar dengan baik mereka menghadapi lima atau enam orang yang menyeruak masuk ke ruangan itu.
"Kenapa kami disuruh bubar?"
"Kalian mau menghidupkan komunisme."
"Komunisme apaan? Kami hanya ngobrol!'
"Sudahlah, Buk. Maksud kami baik. Daripada mereka yang membubarkan forum ini. Kami ingin semua terkendali."
"Mereka yang kalian maksud itu siapa?"
"Ya laskar-laskar itu!"
Tiba-tiba aku terkesiap. Salah satu di antara mereka adalah orang yang mengepung kami di dalam hutan. Dia tak melihatku. Dia juga tak melihat Om Tan.
Segera aku menggapai lengan Om Tan, setengah memaksanya ikut bersamaku keluar dari ruangan ini.
(Puthut E.A.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar