Tahun 1984, Indonesia mencapai swasembada beras pertama sejak 1960. Maka pada 22 Juli 1986, Presiden Soeharto menerima penghargaan "From Rice to Self Sufficiency" dari Badan Pangan PBB (FAO).
Saat itu Rusnadi alias Kuneng masih 46 tahun dan hidup dari mencari rotan, ikan, dan karet di desanya di Bereh Bengkel, Sebangau, 25 km dari Palangkaraya (Kalimantan Tengah). Warga Dayak ini hidup dari sungai Kahayan.
Supras Diantara, cucunya, belum lahir.
Tapi swasembada pangan di masa Presiden Soeharto tak berlangsung lama. Setelah penghargaan FAO itu, swasembada hanya terjadi tahun 1988 dan 1993. Selebihnya, Indonesia mengimpor beras hingga 2 juta ton per tahun di era 1990-an. Ini akibat konversi lahan pertanian produktif yang terjadi di Jawa untuk industri, permukiman, properti, dan jasa.
Lalu terbitlah ide mencetak sawah dengan cepat dan murah di lahan gambut Kalimantan Tengah, karena tidak perlu sistem irigasi yang rumit mengingat gambut juga menyimpan air.
Muncullah Keppres 82/1995 yang menandai pembukaan hutan di lahan gambut besar-besaran hingga 1,4 juta hektare (lima blok).
Hutan Rusnadi dibuldozer.
"Saat itu tidak ada yang berani menolak. Pemerintah mau apa, kita tinggal jalan saja," katanya mengenang.
Ia kebagian proyek land clearing di beberapa ruas, yang totalnya sepanjang 49 kilometer. Bendungan pun dibangun. Transmigran mulai didatangkan.
"Saya ikut jadi buruh di sini. Kalau gak salah tiga bulan, bendungan ini sudah jadi."
Namun hingga 1998, proyek itu baru berjalan 3 persen, dan sawah yang dicetak baru 2 persen. Sebagian sumber menyebut, penyebabnya bukan reformasi (karena Presiden SBY sempat melanjutkannya tahun 2007), namun riset yang terburu-buru dan Amdal yang tidak teliti. Tanah itu dianggap lebih cocok diperlakukan sebagai lahan basah (wet land) dibanding sawah gambut.
Tapi hutan Rusnadi sudah kadung dibongkar sejauh 49 km.
"Kini, sawah tidak jadi, hutan rotan pun kami hilang. Cari ikan juga sudah susah. Bendungan ini tidak ada gunanya," pungkas Rus, yang kini hidup mengandalkan honor sebagai pengurus adat.
Di bekas Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPGL) itu, Rus dan warga lain memanfaatkan dengan menanam karet atau pisang. Tapi kini semua ludes terbakar.
"Kalau gambutnya tidak menyimpan air lagi (karena dibangun kanal) pasti mudah terbakar. Habis sudah tanaman kami."
Di sebagian lahan eks PPLG itu, juga mulai ditanami kelapa sawit.
"Harusnya dikembalikan seperti dulu. Atau dilanjutkan saja sawahnya. Saya tidak setuju kalau sawit. Kami hanya jadi buruh," tandasnya.
Setelah mimpi Presiden Soeharto dan SBY tak berjalan di Kalimantan, kini Presiden Joko Widodo memindahkan mimpinya ke Papua, lewat proyek sawah 1,2 juta hektare berbasis perusahaan di Merauke yang akan menggusur hutan sagu "Rusnadi-Rusnadi" lain di Papua yang juga berkarakter wet land.
#TheMahuzes
Tidak ada komentar:
Posting Komentar