Di bawa udara satu derajat Reamur dan angin subuh yang menyapa daun-daun pinus, aku menunggumu di jalan berundak di Penanjakan, Bromo ini, dik. Di bawahku di jalan sempit yang berkelok-kelok, 33 pasang lampu jip menembus kabut subuh dengan sombong, seolah sorot mata raksasa.
Sepagi ini, angin di Penanjakan begitu beku. Dan sementara orang-orang berjaket tebal berbaris di atas bukit berpagar menunggu matahari, aku melihat orang-orang Amungme membakar batu untuk kita. Rambut mereka keriting. Kulit mereka legam.
Kita pernah tinggal di Honai mereka di puncak Mimika. Makan ubi dan minum kopi. Kopi terenak katamu. Menggoda anak-anak yang berlarian tanpa sepatu dan terus bernyanyi. Masyaallah, engkau tentulah ingat suara mereka dik. Angaye angaye, nao emki untaye. Angaye hao, aa, hao...
Mereka telah memberikan semua. Telah kehilangan semua. Gunung, hutan dan kehidupan mereka. Seperti ubi jalar yang tumbuh di antara dua batu, hidup mereka dihimpit mesin bor dan truk-truk yang angkuh. Tanah mereka berlobang tapi mereka terus disisihkan.
Oh Nagawan Into, ke mana bangsa penakluk gunung dan hutan itu? Ke mana mereka akan berburu kuskus, mambruk dan babi hutan?
Kele wawunia kele, ae, ao, baa...
Aku mendengar suara angin yang menerpa daun-daun pinus seperti nyanyian perempuan-perempuan Amungme yang meratap dan menangis. Udara menjadi lindap di pucuk-pucuk pohon dahu dan kopi. Anak-anak Amungme terus berlarian.
Aku melihat mereka, tapi subuh ini aku di Bromo. Bukan di Mimika, tempat kita pernah menatap nemangkawi, salju abadi itu. Menunggumu di ujung jalan berundak di Penanjakan. Di atas kaldera, di bawah udara satu derajat Reamur.
Aku rindu padamu, dik. Aku rindu suara anak-anak Amungme yang bernyanyi itu. Niare wawnia niare, ae, ao, haa...
#sabtumojok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar