Ada kabar bahwa Sinar Harapan (baik cetak maupun online) akan berhenti terbit awal tahun 2016. Belum ada pengumuman resmi yang bisa dibaca, meski jika kita menyimak tren penurunan besar-besaran jumlah eksemplar media cetak di berbagai belahan dunia, hal seperti ini wajar terjadi.
Buat saya, ini tetap kabar yang mengejutkan. Satu-satu media cetak di Indonesia runtuh, dan terpaksa berhenti terbit. Tahun ini saja Jakarta Globe menghentikan edisi cetaknya, demikian juga dengan Readers Diggest Indonesia, Koran Tempo minggu, Harian Bola, bahkan Majalah Detik (yang terbit online) juga memutuskan berhenti terbit. Entah apalagi yang menyusul.
Tren global memang menunjukkan bahwa media-media cetak banyak yang berhenti terbit, bahkan media-media besar seperti Newsweek (meski pada akhirnya memutuskan terbit kembali). Sementara di Indonesia, sulit merujuk data yang pasti tentang angka penurunan eksemplar dan pembaca suratkabar. Kita hanya bisa membaca “pranata mangsa” dari apa yang ditemui sehari-hari: semakin jarang orang membaca koran, akses online yang tinggi, loper koran yang semakin merugi, dan sebagainya.
Sinar Harapan sendiri adalah salah satu dari 3 imperium media besar (selain grup Kompas dan Tempo) yang tumbuh sebelum keluar paket deregulasi ekonomi Orde Baru di dekade 1980-an. Ia muncul di tahun 1961 dengan motivasi politik dan religius, melewati periode yang disebut sebagai era jurnalisme politik, ketika jurnalisme politik runtuh, dan ketika suratkabar pelan-pelan (dan semakin) dilihat sebagai komoditas.
Sejak dekade 70-an, Sinar Harapan merupakan media dengan jumlah eksemplar dan penerimaan iklan terbesar kedua, setelah Kompas. Ia memang seperti Kompas, bedanya, beberapa kali sedikit lebih lantang menulis berita. Wajar saja jika ia “mendapat kehormatan” sebagai koran pertama yang diberedel Orde Baru di bawah SIUPP yang baru tahun 1986. Sejak itu SH berhenti beroperasi dan baru terbit kembali di tahun 2001, 3 tahun setelah reformasi.
Dari Sinar Harapan kita bisa melihat salah satu gerak awal konglomerasi media di Indonesia. Di bawah kelompok Sinar Kasih, Sinar Harapan melakukan ekspansi pasar ke berbagai daerah - seperti Jawa Timur dan Sulawesi Utara - dengan kebijakan yang dalam catatan David Hill disebut sebagai kebijakan "tumbuh bersama". Laju diversifikasi pasar ini mesti dikerangkai dalam sistem politik Orde Baru.
Dekade 1980-an, media massa ibarat seorang tentara yang pulang dengan keletihan luar biasa pasca perang. Depresi dan frustasi. Pengalaman represi negara yang traumatik (Pasca-1965 dan pasca-Malari 1974), rendahnya jaminan keamanan terhadap bisnis media, serta pasar media yang berkembang pesat. Kebebasan pers dengan martabat namun mengundang represi atau kepatuhan terhadap negara yang menawarkan kemakmuran. Tak adanya pilihan “kebebasan dan kesejahteraan” memaksa pers untuk melakukan ekspansi dan diversifikasi produk.
Sinar Harapan tidak hanya mendekati media-media di daerah tetapi juga melebarkan sayap ke bisnis lain seperti perusahaan transportasi, penerbitan buku, juga Bank. Gerak yang disebut Vincen Moscow sebagai "spasialisasi vertikal-horizontal". Gerak ini pada akhirnya gagal secara finansial, tapi tetap bisa menjadi “bemper peredam benturan politik dan ekonomi” bagi para pekerjanya. Karena itu ketika diberedel tahun 1986, sebagian pekerjanya bisa pindah ke tempat lain yang masih berada dalam naungan perusahaan.
Kalau benar kabar Sinar Harapan berhenti terbit di awal tahun 2016 sampai batas waktu yang tidak ditentukan, berarti memang kita sedang menyambut senjakala media cetak.
Sudah baca koran apa hari ini?
(Wisnu Prasetya Utomo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar