Macam kapal oleng di tengah laut, diterpa badai pula. Itulah Sastra Indonesia kini. Hanya sebagian orang yang mempedulikan nasibnya. Kebanyakan sibuk berkarya, berkarya, berkarya, berkarya, dan berkarya tanpa sedikitpun membincangkan nasib Sastra Indonesia. Kalaupun ada, itu hanya membicarakan tentang karya-karya SAMPAH. Nasib memang absurd, tapi, itu bukanlah alasan kuat! Karena absurd itulah, ya, harus diperjelas!!!
Saya betul-betul kecewa beberapa hari ini. Saya sudah sedikit keliling dan menganalisa beberapa kawan penulis dan mahasiswa Sastra Indonesia yang ada di Yogyakarta.
Pertama untuk penulis mau muda mau tua, hanya sedikit dari mereka yang respek dengan kriminalisasi penyair Saut Situmorang yang dituduh mencemarkan nama baik seorang perempuan yang juga seorang sastrawan juga seorang ibu rumah tangga yang solehah. Fatin Hamama. Kini Saut Situmorang telah berstatus sebagai tersangka.
Dari kasus tersebut, saya dapat menarik, bahwa, hukum dan beberapa penegak hukum, di Indonesia ini PENGECUT, BERMENTAL CETEK, dan SAMPAH. Jelas saja, dengan menggunakan UU ITE mereka menjerat Saut Situmorang yang memperjuangkan Sastra Indonesia dari Denny JA dan anjing-anjingnya itu yang berkeinginan untuk merusak dunia Sastra Indonesia.
Kedua untuk mahasiswa Sastra Indonesia, khususnya di Jogja, betul-betul SAMPAH. SAMPAH. Mereka membutakan mata terhadap nasib Sastra Indonesia. Padahal, mereka orang yang mempelajari Sastra Indonesia. Saya mempercayai, bahwa, mereka kuliah hanya ingin mendapatkan ijazah dan bekerja. Ini keliru. Kekeliruan ini harus diluruskan.
Catatan buat mahasiswa Sastra Indonesia di seluruh penjuru Indonesia: lebih baik kau mati kalau kau hidup hanya menonton hancurnya Sastra Indonesia. Jangan lagi percaya dengan sastrawan-sastrawan tua yang sedang ngentot dengan masa lalunya dan berpesta pora di festival puisi di Jakarta.
(Muhammad Yasir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar