Andi Mattalatta, tokoh asal Bone, Sulawesi Selatan, yang juga mantan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR (2004-2006), serta bekas Menteri Hukum & HAM (2006-2009) pada Kabinet SBY-JK, sejak Juni 2010, menjadi Komisaris PT Freeport Indonesia. Waktu itu pengangkatan komisaris PT Freeport Indonesia sempat menjadi isu hangat, karena dikabarkan ada dua tokoh nasional yang jadi komisaris, dimana salah satu di antaranya adalah Amien Rais. Tapi isu itu ternyata tidak benar, karena selain Andi, yang ditunjuk menjadi komisaris Freeport adalah Marzuki Darusman, bekas Ketua Fraksi Golkar di MPR (1998-1999) dan juga bekas Jaksa Agung (1999-2001).
Maroef Sjamsoeddin, putera Makassar, bekas Wakil Kepala BIN (2011-2014), diangkat menjadi Presiden Direktur PT Freeport Indonesia pada Januari 2015 lalu. Dalam keterangannya di depan MKD pekan lalu, Maroef menyampaikan bahwa pertemuannya dengan Setya Novanto merupakan saran dari Marzuki Darusman. Keterangan itu bagi saya menarik, karena secara tidak langsung Maroef berusaha menarik keterlibatan Marzuki. Sayangnya, sampai hari ini kita belum mendapatkan pernyataan apapun dari Marzuki terkait persoalan ini.
Suara cukup lantang malah diberikan oleh Andi Mattalatta, kolega Marzuki di Freeport, yang mendukung laporan Sudirman Said atas Setya Novanto ke MKD. Menariknya, Andi juga menyatakan bahwa laporan ke MKD itu sudah cukup, tidak perlu diteruskan ke ranah hukum. Sebagai orang hukum, saya kira dia tahu persis implikasi hukum jika persoalan ini dibawa ke ranah hukum. Larangan itu tentu saja berarti tak ada benefit bagi grup kepentingannya jika kegaduhan ini diteruskan ke wilayah hukum. Alih-alih, bahkan mungkin merupakan kerugian, terutama bagi Freeport, jika urusan itu sampai menjadi masalah hukum.
Kita bisa sama-sama menyaksikan, baik Andi maupun Marzuki, juga Setya Novanto, sama-sama tokoh Golkar. Dan keduanya, terkait skandal rekaman Freeport, bisa kita anggap punya posisi berseberangan. Andi mendukung laporan Sudirman dan Maroef, sementara Marzuki sepertinya, merujuk kepada keterangan Maroef di depan MKD, berada di belakang Setya Novanto. Posisi dan personalia ini perlu kita catat untuk mengurai peta konflik terkait Freeport.
Di dapur eksekutif, seperti yang telah berkali-kali saya bahas di dinding ini, soal Freeport ini merupakan palagan dari dua tokoh, yaitu Jusuf Kalla dan Luhut Binsar Panjaitan. Keduanya bekas menteri di zaman Gus Dur, dan keduanya juga adalah tokoh Golkar. JK bahkan pernah menjadi Ketua Umum Golkar, sementara Luhut masuk menjadi jajaran elite Golkar di periode awal kepemimpinan Aburizal Bakrie. Dalam konflik Golkar yang terakhir, kita bisa menyaksikan bahwa JK, juga Andi Mattalatta, merupakan tokoh penyokong Agung Laksono untuk mendongkel kepemimpinan Aburizal Bakrie. Sayangnya, kita tahu, usaha mereka sejauh ini gagal.
JK memang butuh Golkar, karena itu akan memperkuat posisi tawarnya dalam rezim pemerintahan sekarang. Tanpa partai politik di belakang punggungnya, dia akan kesulitan memoderasi dan menggaransi berbagai kepentingan yang berpusar di pusat kekuasaan.
Selain warna Golkar yang dominan dalam peta konflik Freeport ini, saya juga tertarik pada warna koneksi kedaerahan di dalamnya. JK, Andi, dan Maroef, yang dalam konflik kepentingan terkait Freeport ini bisa kita baca sebagai satu grup, kebetulan berasal dari daerah yang sama. Kebetulankah?!
Kita selalu butuh peta, dan perlu belajar membuat peta, untuk mengenali lakon dan pola permainan, karena tak semua kejahatan bisa direkam atau beruntung mendapatkan saksi. Jika tak ada rekaman, tak ada yang mau bersaksi, apakah sebuah kejahatan kemudian kita anggap tidak ada, meskipun baunya menyengat?! Inilah tempat gelap yang membutuhkan obor itu.
Eh, lalu di mana posisi presiden? Seperti biasa, di depan kamera (#eh).
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar