Permintaan maaf tanpa syarat sudah diralat. Tapi tetap saja basis argumennya bermasalah.
1. Dia mengacu pada “negara yang konkrit”, yakni aparatus negara: kepolisian, hukum dan peraturan-perundang-undangan, peradilan, dsb, Tapi terus menerus mengistilahkannya sebagai “representasi negara”. Tak harus membaca katam Althusser untuk tahu beda antara konsep aparatus negara (“ideological state aparatus”, “repressive state apparatus”, dsb.) dengan soal “representasi negara”. Soal problem "representasi dan presentasi" kelas dan negara, bacalah buku Martin Suryajaya: Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme.
2. Dia terus menerus mempertanyakan “bagaimana dasar ethis negara [?]”, tapi dia abai bahwa dasar etika negara itu sudah menyejarah diakui dunia, bahkan dikodifikasi dalam hukum internasional oleh negara-negara (c.q. PBB) dalam bentuk konkrit prinsip-prinsip dan standar/ instrumen hak asasi manusia. Dasar etis bagi negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) untuk bertindak, beraksi, berbuat terhadap warga negaranya bahkan umat manusia sudah ditentukan dalam standar HaM dan konstitusi suatu negara; termasuk dasar etis negara bagaimana hak-hak korban/penyintas (hak untuk tahu, hak atas keadilan, hak atas remedi dan reparasi, serta jaminan tidak berulangnya kejahatan di masa lalu) wajib ditunaikan oleh negara. Belajarlah ketatanegaraan.
3. Dia mengkritik Hegel: “negara sebagai subyek historis yang abstrak”, sambil seolah menyetujui konsep Marx tentang negara yang konkrit, yakni negara yang menyejarah dalam ruang dan waktu. Tapi mengebiri teori Marx tersebut dengan mengabaikan basis material keberadaan negara. Bagi Marx negara selalu berarti "negara kelas", entah sebagai "instrumen (faksi-faksi) kelas borjuasi" (Miliband) ataupun "ditentukan oleh struktur kelas dan konjungtur kapiitalisme" (Paulantzas), maupun sebagai "arena perjuangan kelas-kelas" (mis. Alavi, Jessop). Lagi-lagi memperkosa teori Marx (juga para marxist) sebagai melulu rasionalitas pikiran. Bacalah The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte (Marx, 1852).
4. Dia mengritik permintaan maaf yang disertai sikap "take-and-give” dan menyatakannya bahwa permaafan yang terwujud dalam bentuk pertukaran tersebut bukanlah yang ideal. Namun, bukankah permaafan selalu mengandaikan hubungan relasional, antara pihak pemberi dan penerima maaf, antara yang memafkan dan dimaafkan? "Permaafan" oleh negara, tentu saja berwatak politik, bahkan memiliki basis ekonomi-politiknya (lihat misal tulisan Coen: http://indoprogress.com/2016/04/mengapa-sulit-minta-maaf/). Alih-alih memeriksa bagaimana relasi kuasa bekerja dalam suatu “proses permaafan”, dia malah mengingkari "relasi permaafan" dan mengaburkannya kembali ke dalam kategori idealisme meta-fisis.
Silat kata bisa memukau banyak orang, tapi argumen selalu punya dasar logis dan konseptualnya. Logika dan konsep-konsep tersebut ditekuk-tekuk olehnya. Sorry man!
(Harry Wibowo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar