Sabtu, 07 Februari 2015

Pilih Joko, dapat Hendro

"Pilih Joko, dapat Hendro." (Mahfud Ikhwan, 2015)

"Pilih Joko, dapat Hendro." (Mahfud Ikhwan, 2015)
Posted by Tarli Nugroho on 6 Februari 2015

Jumat, 06 Februari 2015

Mobnas

Ide mobil nasional yg tidak nasional-nasional amat pernah muncul pada zaman Soeharto: Timor-nya Tommy Soeharto yg bikinan KIA Korea Selatan. Apa kira-kira yg baru dari mobnas ala Proton? Ide mobnas yg asli sebenarnya Maleo, pernah digagas Habibie, yg percaya Indonesia bisa bikin mobil sendiri (wong pesawat saja bisa). Kerjasama dg Proton mencerminkan turunnya pamor Indonesia, dan pengakuan atas keunggulan Malaysia. Tapi, dlm perspektif lain, yakni penguatan transportasi publik, perlukah kita pabrik mobil lain, sementara jalanan kita sudah ditambahi satu juta mobil setaip tahunnya? Kenapa bukan pabrik kapal sesuai visi maritim Presiden jokowi? Atau industri gerbong kereta serta perluasan jaringan rel? (Farid Gaban)

Batu

Saya punya koleksi batu lava letusan Gunung Tambora (200 tahun lalu). Apakah ini bisa diasah jadi akik? #eh
(Farid Gaban)

Kompasiana

Tidak mau atau tidak bersedia memikul tanggungjawab atas apa yang ditulisnya itu bukan hanya wujud kepengecutan, juga merupakan pemerkosaan serius terhadap disiplin ilmiah dan kredo jurnalisme sambil membunuh kemungkinan dialog/pertukaran pendapat secara kritis, mematikan ruang sehat bagi kritisisme. Blog ala Kompas itu pun andil secara legal memfasilitasi kepenulisan dan anonimitas penulis agar tidak bertanggungjawab dan mendorong orang menjadi pengecut. Ironisnya atas nama perlindungan terhadap jurnalisme warga dan demi ruang bebas media sosial. (Harry Wibowo)

Frustrasi

Dua orang yg saya segani dan hormati, Pak Ahmad Syafii Maarif dan Mas Imam B. Prasodjo, mengungkapkan pernyataan yg bikin miris menyangkut kisruh politik akhir-akhir ini. Seperti sudah putus harapan akan masa depan negeri ini. Saya justru melihat lebih optimistik: inilah peluang bagi para cerdik cendekia, profesor dan doktor, politisi dan aktivis, untuk merenungkan, merumuskan serta membangun konsensus baru menuju perubahan lebih radikal dalam kita bernegara: dalam politik, hukum, ekonomi, budaya-sosial. (Farid Gaban)

Kamis, 05 Februari 2015

Konstitusi

Konstitusi kita secara sengaja mengarahkan sistem ekonomi kita pada jurusan tertentu, jadi bukan diserahkan pada dinamika sosial secara bebas. Atau, meminjam bahasa Ismail Suny pada 1965, "Konstitusi kita membebani kita dengan sistem ekonomi tertentu bagi kita, ialah suatu sistem ekonomi Pancasila." Itu sebabnya hubungan antara ekonomi dengan hukum mestinya sangat erat, dimana di Indonesia para yuris harusnya belajar ekonomi, dan para ekonom juga belajar hukum. Demikian hasil mengaji petang ini. (Tarli Nugroho)

Bung Karno

Membayangkan Puan Maharani membaca buku-buku kakeknya: Indonesia Menggugat; Sarinah; Di Bawah Bendera Revolusi. (Farid Gaban)

UMMAT

Setelah Majalah EDITOR dibredel pada 1994, meskipun kemudian hadir Majalah TIRAS, namun saya selalu merasa bahwa "pengganti" yang sesungguhnya dari majalah tersebut adalah Majalah UMMAT, yang terbit menjelang peringatan 50 Tahun Indonesia Merdeka. Selain topik-topik laporannya yang memikat, UMMAT juga di-make up dengan tata letak yang menarik, beda dengan majalah-majalah berita lain pada masanya. Sayang, majalah yang dimodali para pengusaha dari Solo ini tak berumur panjang. Sesudah Reformasi, majalah ini berhenti terbit. Salah satu edisi UMMAT ini mengangkat isu agraria sebagai laporan utamanya. (Tarli Nugroho)

Reformasi Kepolisian

meskipun sudah dipisahkan dari angkatan bersenjata, kekuasaan kepolisian tetap tumbuh sebagai suatu 'kerajaan bisnis dan politik keamanan' tersendiri. reformasi kepolisian gagal total. sebab utamanya karena tidak memisah-misah tupoksi untuk urusan penegakan hukum dan penanganan kriminalitas, urusan perizinan dan perpajakan, urusan lalu lintas (transportasi), serta urusan keamanan dan ketertiban umum. mengandahkan 'kerajaan' tersebut dalam satu kementerian hanya menggeser persoalan dari satu tempat ke tempat lainnya... (Harry Wibowo)

Rabun Jauh

Untuk memperkuat citra anti-korupsi pada Pemerintahan Jokowi, banyak orang mendukung KPK dilibatkan dalam seleksi kabinet; memberi "rapor" para calon menteri. Sepertinya masuk akal dan mulia. Tapi, itu preseden buruk bagaimana KPK diseret masuk ke dalam urusan politik. Kasus Budi Gunawan hanya kelanjutan logis dari itu, dengan ending menyedihkan: lunturnya kredibilitas KPK. (Farid Gaban)