Selasa, 10 Februari 2015

SINAR

Pada kuartal terakhir 1993 majalah ini hadir menyapa pembaca. Ini majalah berita yang berbeda dengan Tempo dan Editor, karena diterbitkan untuk segmen pembaca Tionghoa. Tak heran jika pilihan berita, ulasan profil, serta sebagian besar isinya disesuaikan dengan segmen pasar yang disasar. Jika tak salah mencatat, majalah ini merupakan produk debut Sudwikatmono dan Grup Subentra dalam bisnis media. Selain majalah ini, Sudwikatmono juga menjadi pemodal beberapa media lain pada masa itu, yang membuat paruh awal 1990-an menjadi tahun-tahun yang semarak oleh kelahiran media-media baru. Sayang, meski sempat terbit dengan kertas HVS dan halaman full colour, majalah ini hanya berumur pendek saja. Dalam ingatan saya, sejak krisis 1997, majalah ini tak lagi saya temui di kios koran langganan. Majalah Sinar pun berhenti bersinar. (Tarli Nugroho)

Minggu, 08 Februari 2015

General

Untuk menjadi negeri adidaya seperti Amerika, yang punya General Motors dan General Electric, kita mungkin bisa memulainya dengan pertama-tama membesarkan General Hendro. *eh (Tarli Nugroho)

Kepala Negara

Kepala negara hadir dalam penandatanganan kerjasama perusahaan swasta nasional dengan perusahaan asing itu memang biasa. Betul, itu memang lazim dilakukan kepala negara lain. Tapi mereka melakukannya selalu dalam posisi sebagai pihak produsen, bukan sebagai pihak konsumen, apalagi sekadar makelar (baca: agen). (Tarli Nugroho)

Sabtu, 07 Februari 2015

Nasionalisme Isi Ulang

Di tengah-tengah rantai produksi industri otomotif global yang setiap mata dalam rantai produksinya sudah terspesialisasi dan terpilah-pilah ke dan di beberapa negeri, koq masih saja ada yang membayangkan bahkan mengklaim nasionalisme dalam produk industri otomotif; seolah kandungan lokal dan lokasi produksi adalah wahana perjuangan kemerdekaan, seolah titik tolak bagi nasionalisasi sarana-sarana produksi, seolah kuntungan dari akumulasi kapital akan ditanamkan di dalam negeri, soalah komoditi global punya kebangsaan. Padahal kita tahu juga, di Indonesia industrialisasi sulih impor yang padat modal dan teknologi itu sudah gagal total sejak dekade 80an. Rupanya di tengah kapitalisme global saat ini, nasionalisme bisa diisi ulang?....
smile emotikon
‪#‎gumun‬
(Harry Wibowo)

Blood Akik

Baru nonton kembali "Blood Diamond" yg dibintangi Leonardo di Caprio. Semoga demam batu akik di Indonesia sekarang tak memicu konflik berdarah seperti itu. ‪#‎eh‬ (Farid Gaban)

'Deja Vu' Mobil Nasional

'Deja vu' mobil nasional. Dulu untuk membuka jalan ke istana. Kira-kira, kini jalan menuju kemana lagi, Pemirsa? *habis esemka terbitlah proton* (Tarli Nugroho)

Pilih Joko, dapat Hendro

"Pilih Joko, dapat Hendro." (Mahfud Ikhwan, 2015)

"Pilih Joko, dapat Hendro." (Mahfud Ikhwan, 2015)
Posted by Tarli Nugroho on 6 Februari 2015

Jumat, 06 Februari 2015

Mobnas

Ide mobil nasional yg tidak nasional-nasional amat pernah muncul pada zaman Soeharto: Timor-nya Tommy Soeharto yg bikinan KIA Korea Selatan. Apa kira-kira yg baru dari mobnas ala Proton? Ide mobnas yg asli sebenarnya Maleo, pernah digagas Habibie, yg percaya Indonesia bisa bikin mobil sendiri (wong pesawat saja bisa). Kerjasama dg Proton mencerminkan turunnya pamor Indonesia, dan pengakuan atas keunggulan Malaysia. Tapi, dlm perspektif lain, yakni penguatan transportasi publik, perlukah kita pabrik mobil lain, sementara jalanan kita sudah ditambahi satu juta mobil setaip tahunnya? Kenapa bukan pabrik kapal sesuai visi maritim Presiden jokowi? Atau industri gerbong kereta serta perluasan jaringan rel? (Farid Gaban)

Batu

Saya punya koleksi batu lava letusan Gunung Tambora (200 tahun lalu). Apakah ini bisa diasah jadi akik? #eh
(Farid Gaban)

Kompasiana

Tidak mau atau tidak bersedia memikul tanggungjawab atas apa yang ditulisnya itu bukan hanya wujud kepengecutan, juga merupakan pemerkosaan serius terhadap disiplin ilmiah dan kredo jurnalisme sambil membunuh kemungkinan dialog/pertukaran pendapat secara kritis, mematikan ruang sehat bagi kritisisme. Blog ala Kompas itu pun andil secara legal memfasilitasi kepenulisan dan anonimitas penulis agar tidak bertanggungjawab dan mendorong orang menjadi pengecut. Ironisnya atas nama perlindungan terhadap jurnalisme warga dan demi ruang bebas media sosial. (Harry Wibowo)