Selamat pagi, Pak Denny.... Semoga kebaikan dan kesehatan baik jasmani maupun ruhani senantiasa menyertai Anda. Amin. Maaf, pembukaan dan salam saya hanya singkat, sebab saya tidak begitu pintar berbasa-basi. Tapi Insyaallah bukan berarti saya tidak baik hati, sebagaimana Anda juga. Lagi-lagi amin...
Saya menulis surat ini dari sebuah noktah teritori di bumi Indonesia..Duh Indonesia,.Pak Denny... sebuah nama yang membuat banyak orang bisa merinding. Sebuah negara yang begitu molek dan kemerah-merahan menyongsong tahun politik. Tentu saja sebuah pesta politik yang dibangun di atas demokrasi liberal, demokrasi yang riuh penuh warna dan balon, yang membuat banyak orang menoleh lalu bercita-cita jadi politikus. Demokrasi semacam inilah yang membuat dari mulai tukang sablon sampai konsultan politik berikut lembaga survei laris manis tanjung kimpul. Ah, Anda tahu itu. Demokrasi Indonesia mutakhir tidak akan melupakan nama Anda sebagai salah satu tokoh konsultan politik di barisan awal sekaligus sebagai salah satu maestronya. Pengamat dan konsultan politik belakangan ini, yang luarbiasa lanyah dan masih berusia muda setiap kali habis salat mestinya mendoakan Anda karena tanpa pendahulu seperti Anda rasanya muskil profesi ini pun menjadi sohor, moncer dan mentereng.
Saya tidak berpanjang kata untuk membahas hal yang terlalu besar seperti Indonesia. Selain hanya menggarami laut, juga ini bukan saat yang tepat. Karena di pagi seperti ini, tidak perlu kita membahas hal yang terlalu serius. Pagi ini, Yogya mendung. Cocok untuk membahas hal yang ringan-ringan saja sembari menyeruput kopi dan mengisap udud. Eh tapi kalau tidak salah Anda tidak suka ngudud ya...
Pak Denny, tentu tidak mungkin Anda tidak tahu pokok soal apa yang saya ingin sampaikan. Orang secerdas Anda pastilah mudah tahu. Benar, ini masih soal sastra. Selembar teritori kreatif yang membuat nama Anda mumbul akhir-akhir ini. Tapi mohon maaf kalau dalam menyatakan hal tersebut terdapat banyak kesalahan, selain karena ilmu sastra saya masih dangkal, karya-karya saya juga belum terlalu banyak dan masih karya yang begitu begitu saja, tidak ada terobosan seperti karya-karya Anda yang kata beberapa sastrawan sepuh punya kelebihan dan kecemerlangan. Eh, apa kabar Pak Sapardi? Semoga beliau sehat selalu. Di Indonesia jarang ada akademikus sekaligus praktisi sastra yang panjang nafas dalam berkarya seperti beliau. Sampaikan salam hormat saya.
Pak Denny, saya masih yakin kalau dunia sastra baik sastrawan, kritikus, pembaca dll masih riuh membicarakan Anda di pagi ini. Tentu Anda suka dengan dunia yang riuh, sebab demokrasi liberal adalah demokrasi yang riuh. Keriuhan dibutuhkan dalam perdagangan juga. Termasuk dagang gagasan. Termasuk tentu saja dalam dunia marketing politik. Sebab konon, kata pebisnis marketing politik yang lain yang tentu Anda kenal yakni Pak Rizal Mallarangeng, kuncinya hanya ada tiga: money, momentum dan media.
Saya menduga, dalam dunia sastra yang sedang Anda singgahi ini, tiga hal tersebut tentu menjadi parameter dan pijakan. Barang siapa memiliki ketiganya, maka ia akan bisa berkibar. Namun hemat saya, seseorang sebetulnya cukup punya satu: money. Duit. Mothik kalau kata orang Yogya. Sebab dengan uang, seseorang bisa menguasai, membeli atau terpampang di media. Dengan uang pula, ditambah sedikit saja kepintaran, sesorang bisa menciptakan momentum.
Dan menurut saya, Anda orang yang sangat piawai menciptakan momentum. Itu pula yang membuat Anda terus bisa berselancar dalam keriuhan hari-hari belakangan ini. Anda sudah ungkapkan hal itu di dalam pledoi dan kicau Anda. Dunia sastra, menurut Anda, mulai terasa menggeliat sejak buku yang Anda sponsori soal 33 tokoh sastra yang punya pengaruh, terbit.
Saya tidak tahu, mungkin sebelum Anda masuk di dalam himpunan nama tersebut, dunia sastra sedang tertidur atau mungkin bahkan mati suri. Coba nanti saya cek apakah masih banyak cerpen dan puisi yang nongol di hari Minggu, apakah karya-karya sastra masih dicetak oleh para penerbit buku dan apakah debat dan celoteh sastra masih bertaburan di media sosial.
Maaf lho Pak, kalau saya langsung nembak bahwa buku tersebut terbit karena Anda sponsori. Seperti saya bilang di awal bahwa saya tidak pintar basa-basi. Dan menyeponsori hal seperti itu biasa kok. Termasuk titip nama supaya masuk. Lebih tepatnya buku tersebut dan sejumlah nama yang lain di dalam buku tersebut hanya sebagai pelengkap saja. Intinya ada di Anda. Dan sekali lagi saya konsisten, Anda tidak bersalah dalam konteks kekinian yang segala hal bisa diperdagangkan dan ditukar dengan uang. Kalaupun toh misalnya masih perlu untuk disalah-salahkan tentu yang paling salah ya para sastrawan yang ikut mendongkrak Anda. Pertama, kok tega mereka memperlakukan hal seperti itu di dalam dunia sastra. Dunia yang kaya imajinasi tapi masih agak miskin dalam apresiasi dan dukungan. Kesalahan kedua, kok mereka gak meminta banyak sekali uang agar bisa dibagi-bagikan ke pelaku sastra lain. Kalau hal tersebut dilakukan sebanyak mungkin, maka yang menghujat buku tersebut hanya jadi minoritas. Tidak seperti sekarang ini, yang mengritik dan menghujat jauh lebih banyak. Salah satu sebabnya tentu saja banyak yang tidak kecipratan mothik Anda. Setidaknya kalau ada slep-slepan kan tidak perlu ikut bicara. Diam. Tapi Pak Denny, sekali lagi saya tidak suka bicara benar atau salah. Biarlah soal seperti itu diurus para ahlinya.
Saya hanya menyayangkan, seandainya jauh hari sebelum ini kita bertemu, saya bisa sampaikan usul dan saran yang gratis dan elegan jika Anda ingin numpang tenar di dunia sastra. Sehingga gegeran macam ini tidak perlu terjadi. Ini terlepas dari bahwa mungkin dengan gegeran ini Anda makin senang karena makin tenar lho ya...
Pak Denny, ada banyak hal yang bisa Anda lakukan di dalam dunia sastra tanpa harus sevulgar itu, dan dunia sastra selalu mencatat nama-nama yang mendukung sastra tanpa melalui berkarya. Sebab sebuah karya membutuhkan sekian banyak dukungan baik langsung maupun tidak langsung. Sedikit contoh, ada nama HB Jassin yang pasti Anda tahu. Beliau kritikus dan pelaku dokumentasi yang penting dalam jagat sastra Indonesia. Ada juga Jusuf Ishak, seorang editor sekaligus salah satu inisiator Hasta Mitra, penerbit alternatif yang berani menerbitkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Ada juga yang mungkin tidak Anda kenal seperti Buldanul Khuri dan Bilven. Nama pertama adalah mantan pemilik penerbit Bentang Budaya. Penerbit ini di saat penerbitan belum sebanyak ini, sudah punya komitmen untuk menerbitkan buku-buku sastra. Buku sastra zaman akhir dekade 80an dan awal tahun 90an tidak seprti sekarng yang bisa laku jutaan eksemplar. Zaman itu bisa laku 3000 eksemplar saja sudah bisa bikin girang pihak penerbit. Sedangkan nama yang kedua itu pemilik toko buku Ultimus di Bandung. Setahu saya problem toko buku itu dari dulu hampir sama: terancam bangkrut melulu. Tapi jangan tanya kontribusinya selama kurang-lebih 10 tahun berkiprah, ada banyak fora sastra dihelat di sana, tempat para sastrawan diskusi, numpang baca buku gratis, sampai numpang tidur bahkan ngutang duit. Selain kedua nama-nama tersebut ada banyak nama lain yang punya jasa dalam dunia sastra kita tanpa harus menghasilkan karya sastra.
Nah, kalau Anda serius mau membantu dunia sastra makin berkembang dan dinamis, Anda bisa bantu anak-anak muda untuk menerbitkan karya-karya mereka. Ada banyak anak muda Indonesia yang karya-karya mereka cukup bagus tapi tidak bisa diserap dan diterbitkan oleh penerbit di Indonesia. Mungkin karya-karya tersebut dianggap tidak diterima oleh pasar. Anda juga bisa membuat semacam sekolah singkat reguler untuk kritik sastra. Konon kata banyak pelaku sastra, mengapa sastra Indonesia kurang bermutu karena minimnya kritik sastra. Anggap saja itu benar. Sebab saya tidak sedang ingin memperdebatkan hal tersebut. Sekolah singkat itu bisa dirancang dan diisi oleh kritikus-kritikus gamben seperti Pak Faruk HT, Pak Kris Budiman, Bu Katrin Bandel. Kalau spektrumnya mau lebih kaya lagi bisa ditambah Pak Nirwan Dewanto, Pak Nirwan Ahmad Arsuka dan Pak Binhad Nurohmat. Tapi kalau mau lebih kaya lagi bisa ditambah dengan Pak Jamal D Rahman dan Mbak Helvy Tiana Rosa. Dengan sekolah kritik sastra yang reguler apalagi diampu nama-nama keren di atas, maka anak-anak muda berbakat macam Arman Dhani dan Dedik Priyanto bisa lebih terasah dan berdaya guna. Coba sekarang ini kalau Anda perhatikan, kemampuan kedua orang itu hanya dipakai untuk hal yang menye-menye. Energi mereka dipakai untuk ribut. Termasuk untuk meributkan Anda.
Anda juga bisa melakukan hal lain yakni memberi beasiswa berkarya bagi para pelaku sastra Indonesia. Ini juga keren. Kebanyakan sastrawan Indonesia masih ada problem berkarya karena harus juga mencari makan. Sehingga mereka kekurangan energi, waktu dan uang untuk melakukan penelitian untuk karya-karya mereka. Kalau Anda lakukan itu, Insyaallah dunia sastra kita akan makin cerah. Bukan malah berantem seperti saat buku yang Anda sponsori ini terbit.
Anda cukup memasang brand nama Anda di sana. Entah di nama lembaganya, misalnya Denny JA Peduli Sastra, atau bisa memberi sedikit pengantar kalau misalnya soal buku atau pidato singkat kalau misalnya sekolah kritik sastra. Dan kalau Anda lakukan ini tiga tahun saja, sayaa yakin nama Anda akan berkilau. Anda akan disubya-subya oleh banyak kalangan. Tentu pasti ada juga kritikan dan cemoohan. Tapi tidak akan sebanyak sekarang. Kalaupun toh masih ada, mungkin dari Saut Situmorang cs. Saya kira tidak ada masalah. Kritik itu bisa penting dan tidak penting. Kalau Anda suka, tinggal Anda cap penting. Kalau tidak, ya tinggal Anda bilang tidak penting. Gampang. Simpel.
Sebetulnya ada banyak hal yang bisa saya rekomendasikan untuk Anda. Tapi pagi seperti ini tidak baik untuk terlalu mbentoyong. Perut saya juga mulai melilit. Kalau misalnya Anda tertarik, kasih pesan di inboks saya. Atau: ping me.
Begitu dulu surat saya ya, Pak Denny... Selamat beraktivitas dan berkarya.
(Puthut E.A.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar