SPBU asing sudah hadir sejak 2002, ketika UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi diundangkan oleh pemerintahan Megawati. UU Migas merupakan salah satu dari sejumlah UU dengan agenda liberalisasi produk LoI dengan IMF.
Namun, meski sudah berhasil membuka SPBU di Jakarta dan sekitarnya, SPBU asing tidak bisa ekspansi ke daerah-daerah, karena masih ada barrier harga. Selama SPBU Pertamina masih menjual RON 88 (Premium) dengan harga jauh di bawah RON 95 (setara Pertamax Plus) yang mereka jual, tentu saja ekspansi adalah bentuk bunuh diri. Siapa yang mau beli BBM mahal?
Kalau kita menelusuri kembali arsip-arsip berita lama, target liberalisasi sektor hilir migas, yang berarti diserahkannya harga eceran BBM kepada mekanisme pasar, diplot terjadi pada 2004. Namun, celakanya, pada 21 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi membatalkan dua ayat dalam UU No. 22/2001, yang menyatakan bahwa tata kelola harga BBM diserahkan kepada mekanisme pasar, karena dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Keputusan MK tadi telah membuat istilah “harga pasar” kemudian jadi tabu digunakan dalam bahasa perundang-undangan kita, karena dianggap bertentangan dengan konstitusi yang memerintahkan bahwa hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus diatur oleh pemerintah, dan bukan oleh pasar. Tarif listrik dan harga BBM, oleh MK ditetapkan sebagai termasuk ke dalam “hajat hidup orang banyak” itu. Sebelumnya, pada 15 Desember 2004, MK bahkan telah membatalkan secara keseluruhan UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. UU itu dianggap inkonstitusional secara keseluruhan.
Karena keputusan MK itulah pemerintah kemudian bermuslihat dengan memunculkan istilah aneh “harga keekonomian”. Apa maksud “harga keekonomian”? Yang dimaksud tidak lain adalah “harga pasar”. Ini yang disebut sebagai "old wine in a new bottle".
Sejak itu pula berbagai dalih dan wacana sistematis diproduksi oleh pemerintah untuk melegitimasi kenaikan harga RON 88 (Premium) agar semakin mendekati harga RON 92-95 (setara Pertamax dan Pertamax Plus). Sebab, selama harga RON 88 (Premium) masih jauh di bawah harga RON 92-95, maka liberalisasi sektor hilir migas akan macet.
Tapi istilah “harga keekonomian” ternyata tidak serta-merta bisa melegitimasi diterimanya mekanisme pasar dalam tata kelola migas. Persis di situlah argumen “subsidi tidak tepat sasaran” mulai muncul.
Pertanyaannya, apa sebenarnya latar belakang pemerintah melakukan rekayasa yuridis, dan kemudian juga rekayasa intelektual melalui berbagai argumen akademis, untuk melepaskan tata kelola migas kepada mekanisme pasar?
Di sinilah menariknya. Kalau kita membaca “Memorandum of Economic and Financial Policies” antara Indonesia dengan IMF, atau yang biasa dikenal sebagai Letter of Intent IMF, Januari 2000 (lihat http://bit.ly/1vQOkOD), dalam naskah itu tercantum poin menarik ini (perhatikan yang ditulis kapital):
“In the oil and gas sector, the government is firmly committed to the following actions: replacing existing laws with a modern legal framework; restructuring and reforming Pertamina; ensuring that fiscal terms and regulations for exploration and production remain internationally competitive; ALLOWING DOMESTIC PRODUCT PRICES TO REFLECT INTERNATIONAL MARKET LEVELS…”
Dalam naskah LoI Juli 2001 (lihat http://bit.ly/1rzOzQ1), terdapat poin ini (perhatikan yang ditulis kapital):
“The government remains strongly committed to the comprehensive legal and policy reforms for the energy sector outlined in the MEFP of January 2000. In particular, two new laws concerning Electric Power and Oil and Natural Gas will be submitted to Parliament during September. THE MINISTRY OF MINES AND ENERGY HAS PREPARED MEDIUM TERM PLANS TO PHASE OUT FUEL SUBSIDIES and restore electricity tariffs to commercially viable levels.”
Jadi, kalau kita mau iseng bertanya, sebenarnya penghapusan subsidi BBM itu sebenarnya untuk kepentingan siapa sih? Benarkah itu untuk kebaikan kita sendiri, rakyat Indonesia? Atau, hal itu sebenarnya hanyalah merupakan sebuah prakondisi agar pasar hilir migas kita segera bisa dimasuki oleh SPBU-SPBU asing?
Kembali lagi, logikanya sederhana saja: bagaimana bisa SPBU asing yang menjual bensin dengan harga belasan ribu rupiah akan eksis di dalam negeri kita, jika SPBU Pertamina masih menjual BBM dengan harga Rp6.500?!
Apa yang tertera dalam dua LoI dengan IMF itu terkonfirmasi oleh pernyataan Purnomo Yusgiantoro ketika masih menjabat Menteri Pertambangan dan Energi. Di Harian Kompas, 14 Mei 2003, dengan jelas Purnomo mengatakan, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas.... Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.”
Setelah tertunda selama sepuluh tahun, di masa pemerintahan Jokowi inilah, presiden yang harga kemejanya cuma Rp100 ribu perak itu, harga RON 88 akhirnya berhasil dirampatkan dengan harga RON 92. Sudah bisa ditebak, setelah ini SPBU asing akan segera ekspansi ke daerah-daerah.
Jadi, bagaimana, masih mau jadi juru bicara liberalisasi sektor hilir migas? Shame on you. #sudutpandang
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar