Membaca halaman depan Koran "Jawa Pos"/"Indo Pos" hari ini, 19 Januari 2015, tergambar dengan vulgar potret media borjuis dalam masyarakat berkelas hari ini. Di "space" paling atas, ada tulisan Dahlan Iskan yang menceritakan liburannya ke luar negeri dan kebebasannya memilih negeri tujuannya berlibur. Di bawahnya ada pemberitaan tentang puluhan orang yang menunggu hukuman mati karena permohonan grasinya ditolak. Kontras dua kelas yang berbeda. Sementara sejumlah besar orang mendekam dalam tahanan, kehilangan kebebasannya, dan merasakan sisa-sisa kebebasan itu perlahan terenggut sebelum menemukan penghabisannya di ujung pelatuk para penembak, sejumlah kecil orang (para elite) menikmati kebebasannya untuk tujuan-tujuan yang sekunder atau tersier, dan mungkin tak merasa perlu berpikir apakah kebebasannya akan membuat iri keluarga para narapidana yang dirundung cemas akan ketidakpastian nasib keluarganya. Mungkin yang terpenting bukan siapa lagi yang akan menulis di "space" teratas -- Dahlan Iskan atau anaknya (toh semua orang tahu bahwa "Jawa Pos" adalah koran "dinasti") -- tapi substansi tulisannya. Sebuah tulisan yang dengan ringan memamerkan kebebasan elitis seseorang di tengah kondisi ketidakbebasan yang membelenggu sejumlah besar orang yang lain.
Lintasan-lintasan pikiran itu pun muncul. Dulu penulis ingin sekali mengatakan kepada kawan-kawan penulis yang biasa mengirimkan tulisan ke media-media besar (baca: borjuis): Mari berhenti "memberi makan" koran-koran yang sudah mapan, mari kita buat media-media alternatif yang kecil dan mampu mengangkat kondisi riil yang dihadapi masyarakat di bawah, mari berhenti "memberi makan" koran yang hanya menjadikan kontributornya para penulis upahan dan mengiming-imingi kita mimpi "borjuis kecil" sebagai penulis selebritis, mari menulis untuk masyarakat kecil, membangkitkan mereka untuk berpikir kritis, untuk mau belajar bersama tentang persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Singkat kata, menghentikan ketergantungan kepada media-media besar. Penulis tak tahu apakah seruan-seruan itu cukup naif untuk para penulis muda kita saat ini. Tapi melihat apa yang ditunjukkan "Jawa Pos" hari ini, penulis tidak ragu mengatakan itu. Toh serajin-rajinnya kita menulis untuk media-media besar itu, tulisan kita tidak akan se-"terhormat" tulisan Dahlan Iskan (dan para raja media lain), walaupun isi tulisan itu lebih bermutu, lebih bernilai, dan lebih membuka daya kritis akan kenyataan.
(Muhammad Al-Fayyadl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar