Tahun 2012 PBHI meluncurkan sebuah laporan mengenai "pelanggaran hak-hak tersangka" yang dilakukan oleh aparat kepolisian selama tahun 2011. Laporan tersebut mencakup jenis pelanggaran hak-hak manusia yang paling burtal, baik terhadap orang yang disangka kriminal (mulai dari curanmor hingga narkoba) maupun terhadap mereka yang sedang memperjuangkan hak-haknya, terutama mereka yang melakukan aksi potes dan berdemonstrasi dalam berbagai kasus konflik pertanahan/agraria maupun dalam situasi konflik berintensitas tinggi seperti di Papua. Tidak termasuk dalam laporan tersebut adalah penanganan terhadap kejahatan terorisme.
Dari 562 'kasus otonom' pelanggaran terhadap hak-hak tersangka yang dihimpun, sepanjang 2011, tercatat telah terjadi 2.282 tindak pelanggaran serius terhadap hak-hak asasi manusia, yakni dengan 1.296 kali penyiksaan (torture - dengan berbagai metode kekerasannya) serta eksekusi-sumir (summary execution atau extra-judicial execution), sehingga mengakibatkan 717 orang mengalami luka-luka fisik (dengan berbagai bobot dan tingkat keperahannya, bahkan hingga cacat), serta 148 orang tewas, baik akibat penyiksaan saat penangkapan, saat interogasi/penahanan maupun kematian akibat penembakan langsung ke tubuh tersangka. Menembak dengan sasaran pada kaki (betis, tulang kering, paha atau telapak kaki) merupakan tradisi lazim aparat kepolisian untuk mengganti borgol atau menghukum tersangka kejahatan.
Angka-angka tersebut belum mencakup tindakan yang lazim dilakukan aparat kepolisian (yang berurusan dengan pemberantasan kejahatan) dengan kategori sebagai "penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (tidak sah)" yang mencapai 2.282 tindak pelanggaran.
Informasi awal yang dihimpun PBHI diperoleh melalui berbagai liputan dan berita media massa secara nasional selama 2011, lalu sebagian kasus penting diverifikasi ulang melalui pemantauan PBHI maupun lembaga lain serta penyelidikan (inquiry) lanjutan ke lapangan.
Buku ini laporan pertama dan mungkin sekaligus yang terakhir, yang agak sistematik yang pernah disusun oleh organisasi non-pemerintah mengenai bagaimana aparat kepolisian menangani kejahatan dan menegakkan hukum sehari-hari. Walaupun sebagai suatu pendokumenan dari pemantauan pelanggaran hak-hak manusia, laporan tersebut masih jauh dari memadai, namun ia cukup memberi gambaran umum yang terpercaya tentang bagaimana cara aparat kepolisian menangani kejahatan dan menyeret tersangka ke muka pengadilan.
Pada beberapa kasus, seperti serangan terencana terhadap penutupan akses warga dan petani ke Pelabuhan Sape, Bima atau persekusi terhadap komunitas Punk di Aceh (Desember 2011), untuk menyebut beberapa kasus yang dilaporkan, juga menggambarkan bagaimana apararat keamanan di republik ini menghadapi aksi protes dan unjuk rasa damai dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan disertai penyiksaan.
Perlu digarisbawahi dalam laporan tersebut, sebagian besar tersangka korban penyiksaan dan eksekusi sumir dalam proses penangkapan hingga penahanan berasal dari kalangan bawah, yang disebut sebagai kejahatan kelas teri.
Dalam laporan tersebut, hanya 1-2 kasus penyiksaan dan eksekusi sumir yang kemudian dipertanggungjawabkan, baik melalui penegakan disiplin internal kepolisian maupun pengadilan. Namun sebagian besar aparat kepolisian, terutama atasan mereka yang terlibat tetap menikmati impunitas. Dalih demi mengorek keterangan atau memaksa pengakuan, atau karena tersangka melawan (padahal sebagain besar tersangka sudah dilumpuhkan tanpa senjata apapun) selalu jadi pembenar untuk menyiksa dan mengeksekusi mati para tersangka.
Jika setiap peluru yang menyasar tubuh hingga merenggut nyawa manusia saja enggan dipertangungjawabkan, apalagi cuma duit.... Mustahil memberantas korupsi di tubuh aparat kepolisian, tanpa upaya serius menghentikan praktek sewenang-wenang dan keji. Rupanya lebih heboh korupsi dana ketimbang korupsi nyawa.
Pesan buat cak Amin Mudzakkir: ini knalpot sudah saya buka... teriring salam bising...
(Harry Wibowo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar