Seseorang yang mengenal Tuhannya dan mengakui bahwa dia bertuhan kepada Ia satu-satunya yang layak disembah, akan mencerna dengan akalnya perbedaan antara yang manfaat dan yang mudarat, antara baik dan buruk, antara benar dan salah, antara apa yang harus dilakukan untuk keselamatannya dan apa yang perlu dihindarinya.
Hal ini dikarenakan, ia menyadari bahwa kelak ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Pemberi potensi yang luar biasa itu. Selain itu, ia juga mampu berpikir jauh ke depan mengenai dampak perbuatannya terhadap dirinya nanti untuk keselamatannya di akhirat, dan tidak saja di dunia.
Dilihat dari sini, akal yang sempurna meniscayakan iman. Orang yang tak beriman kepada akhirat, atau Tuhan, memiliki akal yang sempurna secara relatif, karena hanya berpikir tentang keberuntungan dan keselamatannya di dunia.
Pengenalan akal akan manfaat dan mudarat, menurut al-Muhasibi, memiliki dua dimensi: "al-'âjil", yaitu manfaat/mudarat yang dapat menimpa di dunia, dan "al-'awâqib", yaitu manfaat/mudarat di akhirat kelak. Seseorang yang menyadari keduanya, disebut orang yang berakal ("'âqil").
Al-Muhasibi menulis: "Dan terkadang seseorang harus menghadapi sesuatu yang membahayakannya di akhirat ('mâ yadlurruhû fi al-'awâqib'), namun bermanfaat baginya di kehidupan dunianya ('al-'âjil') ... maka ia [yang menyadarinya] disebut orang yang berakal. Orang Arab memaksudkan: bahwa ia memiliki naluri yang bukan suatu pikiran yang rusak ('al-humq') dan kegilaan ('al-junûn'), dan bahwa akalnya berkurang untuk sesuatu yang menjadi akibat perbuatannya di akhirat, lantaran kadar ketergiurannya pada apa yang bermanfaat baginya di dunia, dibandingkan dengan apa yang membahayakannya di akhirat".
(Muhammad Al-Fayyadl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar