Ketika SBY mengalokasikan dana APBN untuk penanggulangan dampak lumpur Lapindo, ia ramai dikecam. Padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa negara memang harus hadir dalam upaya pemberian ganti rugi.
Di wilayah yang jadi kewajiban PT Minarak, negara harus memberikan pinjaman talangan atas kekurangan pembayaran yang sudah dilakukan, dengan jaminan seluruh aset perusahaan tersebut; sementara di wilayah terdampak di luarnya, negara yang menanggung sepenuhnya.
Terkait dana talangan, karena proses administrasi, verifikasi, dan lain sebagainya, dana itu baru bisa dicairkan di masa pemerintahan Jokowi.
Terus terang saya agak geli membaca komentar sejumlah orang, yang dulu mengecam pemerintahan SBY terkait penggunaan dana APBN ini, lalu kini memuja-muji pemerintahan Jokowi untuk pokok yang sama. Puja-puji itu tak jarang diekspresikan dalam kata-kata yang bikin mual, yang lazimnya tak akan keluar dari golongan terpelajar. Sungguh sikap mendua yang menjijikkan.
Sikap mendua itu juga bisa kita simak dari bungkamnya banyak orang atas soal waduk Jatigede. Orang-orang yang biasa menyaringkan soal-soal semacam ini tiba-tiba bungkam.
Saya bisa paham jika "dilema etis" yang membuat bungkam itu menghinggapi para aktivis yang kemudian masuk ke pemerintahan, dengan jabatan-jabatan eksekutif riil yang membuat posisi mereka memang senantiasa berurusan dengan dilema antara konsep dan praktik, antara intelektualisme dan teknokratisme.
Namun, sungguh aneh jika dilema yang sama juga hinggap di kalangan aktivis yang cuma jadi pendukung pemerintah dalam Pemilu lalu, tapi posisi mereka kini hanya jadi penonton di luar pagar saja.
Cuma jadi penonton kok sok dilematis?!
Menjijikkan memang. Tapi bukankah sikap kekanak-kanakan memang bisa menghinggapi siapa saja, tanpa kecuali?!
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar