Aku tidak tahu apakah kamu pernah mengalaminya. Tapi aku belum. Baru sekali ini saja. Malam tadi.
Aku menyetir mobil dengan kecepatan normal, membelah kota, sendirian. Jalanan sepi. Tidak ada apa-apa. Pada batas kecepatan tertentu, manusia tidak bisa menjumbuhkan tubuhnya, pikirannya, dan ruang sekitar. Apa yang hendak dicerap pergi ke belakang dengan cepat. Hanya orang berjalan kaki biasa yang bisa menautkan itu semua. Atau berkuda santai. Naik sepeda pun tak. Apalagi naik sepeda motor dan mobil.
Tapi bukan itu benar yang hendak kuceritakan. Satu peristiwa di salah satu malam yang gawat. Bagiku.
Mendadak ada sesuatu di diriku yang mendadak lepas. Otakku masih bisa bekerja, tapi sudah tak bisa kukontrol. Tangan dan kakiku masih bisa mengendalikan semua piranti mobil, tapi aku tak bisa mengendalikan mereka. Tubuhku mendadak enteng dan dingin. Persis. Seperti kamu, aku pun menduga apakah aku mati?
Aku seperti menggigil. Tapi yang menggigil itu bukan aku-yang-sedang-menyetir-mobil. Aku-yang-di-luar-sana.
Tiba-tiba mobil masuk ke jalanan dengan kanan kiri sawah. Hanya ada cahaya mobilku. Tapi tiba-tiba mobilku seperti memasuki sebuah kota yang kukenal. Kemudian masuk lagi ke jalanan dengan pemandangan penuh ladang tebu. Balik lagi ke jalanan kota yang kukenal. Hanya bedanya bukan kota yang pikuk melainkan lengang.
Aku di mana? Menuju ke mana?
Kemudian mobil berhenti tepat di sebuah warung makan kecil. Di situ, aku baru merasa diriku menyatu kembali. Aku belum mati.
Tapi warung itu tak kukenal benar. Warung yang sepi. Hanya ada seorang perempuan dengan rambut membusai, memakai daster merah pudar. Aku duduk di meja warung yang tak jelas benar warnanya, apakah hitam atau cokelat. Sementara ada laki-laki lain yang kuduga suami perempuan itu, yang sedang menonton televisi kecil hitam putih.
Masih ada televisi tak berwarna rupanya. Batinku. Hingga semangkuk mi instan diletakkan di mejaku. Hanya dalam hitungan detik, rasanya, mi itu tandas tanpa aku pernah bisa merasakannya. Tak ada sisa usai makan di mulutku. Tak ada rasa kenyang di perutku. Lalu aku pergi sambil memberikan uang dua puluh ribu kepada perempuan yang mungkin usianya sebaya dengan usia ibuku itu.
Kembali aku berkendara. Dan kemudian lagi-lagi, aku seperti menjadi dua. Ada aku-lain yang bisa mengamati aku-yang-sedang-berkendara, dan tak bisa mengontrol apa-apa.
Rasa takut tiba-tiba meyerangku. Kembali aku-yang-di-luar merasa menggigil. Tapi untungnya tak lama. Aku telah sampai di depan rumahku.
Kembali, kedua 'aku' bertaut. Aku linglung.
Cepat aku buka pintu. Aku ingin memeluk istriku. Aku ingin diselimuti. Aku ingin dipeluk sampai tertidur oleh istriku.
Tapi aku baru ingat kalau istriku sedang berada di luar kota bersama anak laki-lakiku. Lalu aku membantingkan tubuhku ke kasur.
Apa yang terjadi denganku? Aku mencoba mengingat sesuatu. Ada apa denganku?
Beberapa hal sempat berloncatan dari kepalaku. Belum sempat semua reda, tiba-tiba pikiranku tak bisa dikontrol. Dia melesat sendiri. Aku teringat mati.
Mendadak aku merasa di sebuah meja makan bundar bersama beberapa orang yang kukenal. Sialnya, tak kuingat nama mereka. Dan mereka berbincang dengan santai tentang kematian. Sementara aku mendengarkan mereka dengan ketakutan. Mulut mereka berkecipak, sesekali terdengar suara ngakak. Tapi aku makin takut.
Tiba-tiba tenggorokanku kering. Tiba-tiba pula aku merasa haus. Tiba-tiba pula aku merasa bingung: apakah aku sedang tidur di dalam sebuah kamar, atau aku sedang makan bersama orang-orang yang sedang membincangkan kematian?
Aku ingin bangkit dari tempat tidur, mengambil gelas air minum di meja makan, tapi aku justru bertemu dengan seseorang di sebuah taman yang rindang.
Sebetulnya di taman itu banyak orang. Bahkan di sekitar kami. Laki-laki itu bersama keluarganya sedang piknik. Atau semacam itulah. Aku hanya tahu laki-laki itu memakai kemeja hitam necis sementara istri dan anak-anak mereka yang banyak itu, berpakaian putih cerah.
"Aku ingin meminta bantuanmu," katanya pelan. Oh, sial, ternyata balik lagi aku di sebuah keadaan bahwa aku mengenal laki-laki itu dengan baik, tapi lupa namanya.
Bantuan apa? Tanyaku balik. Sambil mengaduk secangkir kopi. Kopi? Bukankah aku sedang haus dan ingin minum air putih, tapi kenapa kopi? Kenapa kopi?
Rasa heranku terhenti ketika dia bicara lagi. "Aku ingin kamu menolongku dengan cara menolong orang."
Menolong orang? Siapa?
Penjual kerupuk, katanya. Penjual kerupuk di mana, tanyaku lagi. Kamu tahu di mana, jawabnya lagi.
Dan tiba-tiba aku berlari menuju jalan raya, tanpa sempat pamitan kepada laki-laki itu bersama istri dan anak-anaknya. Aku mencegat mobil sedan putih yang sedang melaju.
Aku masuk lagi, kemudian bilang ke para penumpang yang ada di mobil itu bahwa aku harus menolong seorang penjual kerupuk di depan sebuah mal.
Mobil itu melaju. Baru aku sadar ada 5 orang di dalamnya termasuk aku. Semua laki-laki. Semua merasa kukenal tapi, oh sial sekali hidupku kali ini, aku benar-benar tidak bisa mengingat nama mereka.
"Apa yang paling kamu takutkan di hidupmu?" tanya laki-laki yang sedang menyetir. Dia melihatku dari spion. Persis seperti adegan di film-film.
"Rusaknya ingatanku," jawabku mantap. "Eh, rusaknya otakku." Aku mencoba memperbaiki dengan nada yang tetap mantap.
Tapi kemudian aku teringat bahwa sekian menit atau jam yang lalu, aku masih orang yang menggigil takut akan kematian. Jadi yang benar yang mana?
Mobil berhenti. Aku menghambur keluar mencari tukang kerupuk. Orang yang kucari ketemu. Dia tersenyum, sambil seperti berseru: Aku tahu kamu akan datang.
Kami bicara. Aku memberikan tasku kepadanya. Tas? Sejak kapan tas itu bersamaku? Apa isinya?
Tapi aku tak sempat meneruskan beberapa pertanyaan yang tiba-tiba mencegat kepalaku. Aku harus memberikan tas yang bangsat betul, aku tak tahu sejak kapan membawanya, apalai tahu apa isinya.
Lalu aku diberi kerupuk 10 plastik. Segera aku menyambar dan masuk lagi ke dalam mobil sedan putih itu. Aku bagi-bagikan ke mereka kerupuk-kerupuk itu dan mereka girang sekali. Busyet, kenapa ada segerombolan laki-laki perlente di dalam sebuah sedan putih mewah, dan mereka kegirangan hanya karena kerupuk?
Mobil melaju.
"Hei, kamu tahu apa yang sedang terjadi padamu?" tanya laki-laki di sebelah sopir sambil melepas kacamatanya dan memandangku dari spion. Persis seperti adegan dalam film.
Aku tidak tahu apa maksud pertanyaannya. Aku lelah menafsir dan bertanya. Aku sadar akan segera berganti cerita.
"Beberapa orang akan mengalami ini dua tahun menjelang umur 40 tahun," ucapnya sambil menggigit kerupuk hingga kerowak besar.
Persis usai itu, nafasku seperti ringan. Ringan sekali. Aku seperti mendengar suara nafasku sendiri yang lembut dan panjang.
Lembut, panjang, dan ringan...
Lalu aku seperti terbang. Kemudian merasa ada sesuatu yang kokoh meletakkan diriku kembali di kamar. Tepat di saat itu azan Subuh bergema.
Aku tidak bermimpi. Tapi aku tidak yakin semua itu benar-benar terjadi.
(Puthut E.A.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar