Namanya Juhaiman. Nama itu diberikan oleh Muhammad bin Saif al Utaibi, sang ayah, lantaran ketika lahir Juhaiman kerap menyeringai. Saif lantas memberi nama untuk anak lelakinya yang lahir pada 1936 itu dengan nama “sang pemberenggut.” Dalam bahasa Arab pemberengut adalah Juhaiman.
Lebih 40 tahun kemudian, si pemberengut itulah yang “menguasai” kompleks Masjid Al Haram dengan kekuatan senjata. Hari itu, Selasa 20 November 1979 bertepatan dengan 1 Muharram 1399 [tahun baru Islam pada kalender Hijriah] atau enam belas hari setelah mahasiswa revolusioner Iran menghancurkan dan menduduki Kedutaan Besar Amerika Serikat di Teheran, Iran. Dunia Islam guncang. Dunia barat dan Uni Soviet terjebak dalam intrik politik. Bagaimanapun Mekkah adalah jantung kaum muslim.
Perlu waktu dua pekan bagi tentara Arab Saudi untuk benar-benar membersihkan pasukan Juhaiman dari areal masjid dan tentu saja Kabah. Itupun dengan mengerahkan pasukan elite, tank dan kendaraan lapis baja, pesawat F5, roket, peluru kendali, ribuan granat, satu ton gas beracun, dan bantuan tentara Prancis. Darah tumpah di tanah haram itu bahkan mungkin adalah untuk kali pertama sejak kawasan itu dinyatakan oleh Nabi Muhammad s.a.w sebagai wilayah terbatas: mengharamkan pertumpahan darah.
Versi pemerintah: korban dari pihak tentara adalah 60 tewas, 200 luka-luka, sementara dari kalangan pemberontak 75 orang tewas, 170 ditangkap termasuk 23 perempuan dan anak-anak. Versi para pengamat independen: korban dalam pertempuan dua minggu di Al Haram menelan korban jiwa 1.000 orang, mungkin lebih. Ratusan jamaah haji [termasuk asal Indonesia] yang masih bertahan di Mekkah hingga 1 Muharram ikut jadi korban.
Dendam dan latar belakang politik pendirian negara Saudi disebut-sebut menjadi pemantik bagi Juhaiman untuk memberontak dan berusaha menguasai Masjid Haram, dan tampaknya alasan itu adalah yang paling bisa diterima.
Di awal-awal pembentukan negara itu, Dinasti Saud menggandeng murid-murid Syekh Muhammad bin Abdul Wahhâb yang kebanyakan berasal dari suku pedalaman Badui, popular kemudian dengan sebutan Wahhabi. Mereka telah berjuang membantu Abdul Azis merebut kembali tahta Dinasti Saud di Arab pada awal 1900-an, tapi tentara-tentara yang setia seperti bin Saif [ayah Juhaiman] itu [yang dijuluki sebagai Ikhwan] di belakang hari pecah kongsi dengan Abdul Aziz akibat perbedaan sikap.
Kaum Ikhwan bersikeras menolak kedatangan asing [yang disebut sebagai kaum heretik dan orang kafir] di jazirah Arab, sementara Abdul Azis tak mau mengambil risiko untuk mengusir orang-orang Amerika Serikat dan Inggris dari jazirah Arab. Mereka belakangan dikenal sebagai pengikut Wahhabi, kelompok dipercaya hendak memurnikan ajaran Islam agar sesuai dengan al Quran dan Sunnah.
Kelompok Ikhwan itulah yang kemudian banyak dibantai oleh Keluarga Saud hingga hanya tersisa puak-puak kecil termasuk Puak Sajir, puaknya Juhaiman. Dendam mereka semakin membuncah karena kelakukan pejabat Saudi yang korup, mengusung seks bebas, menjadi pemabuk dan sebagainya. Salah satunya yang paling menonjol dan banyak disorot adalah kelakukan Gubernur Mekkah Pangeran Fawaz, dan itu bukan isapan jempol.
Saat Juhaiman “menguasai” kompleks Masjidil Haram itu, dua anggota penting kerajaan sedang tak ada di dalam negeri. Putra mahkota Fahd pagi itu masih terlelap tidur di sebuah hotel mewah di Tunisia. Abdullah sedang menikmati liburan akhir tahun di Marokko. Kerabat lain, Pangeran Turki Al Faisal yang menjabat Ketua Muda Direktorat Intelejen Umum juga sedang menemani Fadh.
“Semestinya kamu tahu bahwa menjadi pemerintah atau pemimpin Islam itu harus memenuhi tiga perkara: Muslim, turunan Nabi Muhammad s.a.w [Quraisy], dan menerapkan ajaran agama,” kata Juhaiman dalam salah satu risalahnya.
Dan Dinasti Saud bahkan tidak memenuhi satu pun kriteria Juhaiman. Dia karena itu memilih menjadi mahasiswa dan pengkhutbah yang banyak membawa ajaran Wahhabi setelah menjadi anggota Garda Nasional dan keluar [1973] karena menganggap negara sudah tidak menerapkan ajaran agama.
Saat Juhaiman menguasai Masjidil Haram, hal paling konyol muncul di Washington. Dari informasi yang terbatas dan sempat diragukan oleh pejabat CIA, para pejabat dari pemerintahan Presiden Jimmy Carter tetap berbicara kepada media bahwa “Masjid Mekkah diduduki orang-orang bersenjata yang diyakini berasal Iran.” The New York Time menjadikannya sebagai headline, Rabu 21 November 1979.
Berita semacam itu lalu beredar luas ke seluruh dunia dan menyulut sentimen anti-Amerika. Negara itu dituduh berada di balik aksi penguasaan Al Haram oleh Kelompok Juhaiman. Washington telah melakukan kesalahan besar dengan mengambil kesimpulan terhadap informasi yang belum benar-benar diketahui oleh intelijen mereka, meskipun kesimpulan itu ada alasannya.
Dua pekan sebelum Juhaiman menguasai Masjidil Haram, mahasiswa revolusioner Iran memang telah menduduki Kedutaan Besar Amerika Serikat di Teheran, dan menyandera sejumlah orang Amerika. Washington dipermalukan bahkan juga operasi “Gurun Satu” pembebasan sandera yang digelar sekitar enam bulan kemudian. Saat itu Ayatullah Khomeini telah membangkitkan sentimen keislamanan, anti-Amerika dan sekutunya. Amerika menyebut Revolusi Islam Iran berbahaya dan pada kasus Juhaiman di Masjidil Haram mereka menghubungkan revolusi Iran itu, dan ternyata salah dan keliru.
Untuk membebaskan Masjidil Haram dan membantai Juhaiman beserta pengikutnya, Jeddah menggelar operasi militer. Penyerangan pertama dan kedua yang berlangsung hari Rabu dan Kamis, menelan banyak korban dan bisa dikatakan gagal total. Penyerangan ketiga dilakukan 10 hari kemudian, Senin, 3 Desember 1979 dengan mengerahkan kekuatan besar-besaran termasuk dengan menggunakan gas beracun CB yang dipasok oleh para perwira GIGN Prancis. Gas-gas itu dimasukkan ke dalam lorong-lorong bawah masjid dan memaksa pengikut Juhaiman menyerah. Adik Juhaiman, Muhammad Abdullah yang diklaim sebagai Imam Mahdi tewas. Juhaiman menyerah bersama Sayid.
Beberapa hari setelah areal masjid dibersihkan dari darah, mayat dan kotoran; Juhaiman dihadapkan kepada Raja Khalid. Seorang tentara dengan angkuh menyeret jenggotnya. Dari ruang tahanan, Juhaiman menyesali perbuatannya dan mencoba meminta grasi kepada Raja tapi ditolak. Rabu, 9 Januari 1980, Juhaiman bersama 62 pengikutnya dipancung di delapan kota yang berbeda di Saudi.
Juhaiman bersama Sayid dieksekusi di Mekkah tapi Raja Khalid mencoba memenuhi sebagian tuntutan Juhaiman. Salah satunya dengan membiayai banyak pusat-pusat keagamaan di Saudi termasuk untuk kelompok Wahhabi. Anak-anak muda banyak belajar di sana. Dan ketika Uni Soviet menyerang Afghanistan 25 Desember 1979, anak-anak muda itulah yang dikirim untuk berperang, sementara Saudi dan Amerika menjadi penyandang dana dan pemasok senjata.
Usama bin Ladin waktu itu berumur 19 tahun dan termasuk yang terpikat dengan ajaran Juhaiman. Dialah yang belakangan dianggap sebagai biang kerok tragedi 11 September 2001. Setahun setelah tragedi itu, hampir semua anak-anak muda termasuk dari Indonesia yang dikirim berjihad ke Afganistan melawan Uni Soviet dengan biaya dan senjata dari Amerika Serikat dan Saudi, diburu habis-habisan. Mereka dicap sebagai teroris.
(Rusdi Mathari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar