Aku tiba di rumah ketika istriku baru bangun tidur. Dia sedang menunaikan ibadah salat Subuh. Anak laki-lakiku yang berumur 3,5 tahun masih lelap.
Segera setelah mencuci muka, membersihkan tangan dan kaki, mengganti pakaian yang kukenakan, aku rebahan di samping anakku. Memeluknya. Menciuminya. Memeluknya. Ada rasa damai yang perlahan menyusup ke diriku. Dia bergerak pelan. Molet. Lalu memelukku sambil terus terlelap. Di saat itulah, aku mengingat banyak hal. Saat dia masih dikandung ibunya. Istriku.
Kandungan istriku baru menginjak bulan ketujuh ketika suatu malam sehabis makan malam, keponakanmu menelepon: ibuku masuk rumahsakit. Anfal.
Biasa tapi tak biasa. Biasa karena setidaknya setahun dua kali ibuku masuk rumah sakit. Semenjak aku duduk di kelas lima sekolah dasar, dokter menyatakan kalau jantung ibuku tak sempurna. Salah satu katupnya bocor. Dia disarankan untuk melakukan operasi jantung di Jakarta. Tapi karena menimbang faktor biaya dan risiko yang saat itu teknologi belum canggih benar, ibuku tak mau. Semenjak itu, rumah sakit menjadi langganannya. Tak biasa karena setiap anak punya hubungan khusus dengan ibunya. Ada hubungan misterius antara anak laki-laki dengan ibunya. Aku pernah rela mati untuk sekian hal, dan hal pertama yang aku paling rela adalah jika harus menukar nyawaku dengan nyawa ibuku.
Tapi kala itu ada yang tidak beres. Biasanya paling lama ibuku berada di rumah sakit selama sepuluh hari. Kali itu telah lewat dua minggu. Tapi aku tidak bisa pulang. Di rumah, istriku hamil tak berteman. Hanya aku seorang. Hingga di tengah malam, keponakanku meneleponku lagi sambil menangis, memintaku agar memaksa ibuku bersedia pergi ke rumah sakit yang lebih besar. Di rumah sakit Semarang. Sekian detik kemudian, aku sudah bisa memaksa bapakku untuk keesokan harinya membawa ibuku ke Semarang.
Sore harinya, kabar mengejutkan datang. Hanya satu rekomendasi dokter di Semarang, ibuku harus dioperasi. Katup jantungnya harus diganti dengan mesin. Tapi di saat itu pula diberi pertimbangan, usia ibuku sudah tak bisa dibilang muda. Sudah menuju sepuh. Ada risiko yang juga harus diperhatikan.
Rapat mendadak keluarga dilakukan jarak jauh, akhirnya aku yang memutuskan, apapun risikonya, ibuku harus dioperasi.
Bapakku bersiap menjual mobilnya. Aku menghitung semua barang dan uang yang kumiliki, kusisakan uang hanya untuk persiapan jika istriku nanti melahirkan. Semenjak itu, hari-hari panjang menegangkan kulewati.
Saban hari, aku pulang-pergi Yogya-Semarang. Siang hari aku berangkat ke Semarang, menjelang tengah malam aku balik dari Semarang ke Yogya. Di Yogya, kehamilan istriku makin tua, di Semarang, ibuku menghadapi detik-detik yang makin kritis. Itu adalah fase di mana aku sudah tidak bisa berpikir jernih. Hanya berjalan dan berjalan. Hanya menangis dan menangis. Hanya berdoa dan berdoa.
Sebulan lebih setelah di rumah sakit, setelah menjalankan setiap tahapan, dengan duabelas dokter dari berbagai keahlian, jam delapan pagi, ibuku dioperasi. Sementara aku sudah seperti kehabisan daya. Kehabisan doa. Harapanku rantas. Tapi tak siap jika harus putus.
Tidak ada kabar baik setelah operasi. Berbelas kali aku dan pihak keluargaku harus bolak-balik ke kantor PMI. Terlalu banyak darah yang keluar.
Semua dokter yang kami tanya, tak ada yang bisa memberi kepastian. Semua menyuruh kami banyak-banyak berdoa. Budeku, satu-satunya saudara kandung ibuku, tak pernah berhenti berdoa dan menangis. Bapakku nyaris tak pernah tidur. Hidupnya hanya dari masjid rumah sakit ke ruang tunggu pasien. Wajahnya pucat. Di sela-sela waktu ketika kami bisa berdua, kami hanya bisa berpelukan sambil menangis. Di tengah rasa putus asa yang tak bisa kuterima, Bapak sempat bilang: ibuku akan selamat, dia akan menggendong anakku.
Tepat di saat itulah, aku menangis keras sekali. Terguguk. Hingga mungkin menjadi perhatian orang-orang di sekeliling. Tapi sebagian orang-orang itu hampir senasib dengan kami. Jadi mereka pastilah memaklumi, bahkan ikut mendoakan.
Dua hari ibuku masih kritis. Semua sistem hidupnya dibantu oleh alat. Kata dokter, kalau salah satu alat itu dimatikan, ibuku bakal tiada.
Malam itu aku harus pulang ke Yogya. Aku harus melihat istriku. Memastikan dia dan kehamilannya baik-baik saja. Dan aku ingin menangis di pelukannya. Menjelang Magelang, ada seorang spiritualis menghubungiku. Dia tak kukenal benar. Hanya saling bersapa lewat twiter. Dia berkabar. Aku jawab, kabarku tak baik. Minta didoakan. Dia bertanya kenapa, aku jawab semua sebisaku menjelaskannya. Lalu dia memberikan amalan doa. Setiap habis amalan itu dibaca, bayangkan ibuku, lalu meniup telinga kanannya. Begitu pesannya. Aku mengucapkan terimakasih.
Tepat di saat itu pula, bapakku memberi kabar, serombongan orang-orang dari kampung halamanku datang khusus untuk berdoa di masjid rumah sakit. Setelah bapakku menutup telepon, salah satu sahabatku di kampung menelepon, di kampungku malam itu berkumpul di tiga rumah. Semua melakukan ritual doa untuk ibuku. Airmataku kembali menderas. Ibuku orang baik. Di kampungku, ibuku orang yang dikenal baik. Dan kebaikannya bisa dibuktikan dengan tanpa ada yang meminta, ratusan orang berdoa.
Sampai di rumah, aku langsung memeluk istriku sambil menangis. Aku lalu menenggelamkan diri dengan bacaan dan imajinasi meniup telinga sebelah kanan ibuku begitu usai satu doa kulafalkan. Sehabis salat Subuh, aku melanjutkan ritual itu. Hingga tasbiku jatuh saking aku capek da mengantuk setelah berhari-hari kulalui tanpa tidur. Dan di saat itualah, bapakku menelepon.
Aku tak berani mengangkat. Hatiku berdegub keras. Aku kembali menangis. Istriku yang sudah bangun tidur memelukku. Lalu mengambil hapeku saat telepon kedua dari bapakku berbunyi. Istriku mengulungkan benda itu kepadaku. Seakan-akan dia bilang: terimalah...
Begitu aku terima, isak tangis bapakku terdengar. Aku langsung lemas. Dunia berputar. Aku menangis terguguk. Sebelum aku terjatuh, masih sempat kudengar suara bapakku: ibumu siuman.
Aku seperti tak percaya dengan suara yang kudengar. Apa?
"Ibumu siuman."
Aku menangis keras sekali sehingga tetangga depan rumahku yang sedang menyapu memakai sapu lidi di halaman rumahnya, menghentikan kegiatannya.
Mendengar itu, aku langsung menutup telepon. Meminta istriku untuk menghubungi salah satu kawanku yang bisa mengantarku ke Semarang. Pagi itu juga aku balik ke Semarang. Dan benar, ibuku siuman.
Butuh dua bulan ibuku dirawat khusus setelah operasi yang mencekam itu. Setelah itu dia seakan lahir kembali. Wajahnya makin nampak muda. Dulu jika mengambil air wudu saja dia seperti payah, dan harus bersandar ke tembok berkali-kali karena nafasnya tersengal, tiga bulan setelah operasi dia sudah bisa berjalan mengitari kampung. Ketika anak laki-lakiku lahir, dia kuat menimang lama sekali.
Tapi tahun itu adalah tahun yang mengerikan. Setelah ibuku melewati drama operasi, nenek dari pihak bapakku, perempuan yang membantu merawatku sejak kecil, meninggal dunia. Tidak lama kemudian, kakekku dari pihak ibu juga meninggal dunia. Menjelang tutup tahun, ketika usia anakku baru 4 bulan, aku harus dibawa ambulans ke rumah sakit untuk operasi ambeien.
Tahun itu adalah tahun penuh badai. Tapi ada dua orang yang tumbuh di tahun badai itu: anakku yang lahir, dan ibuku yang seperti lahir kali kedua.
Setiap keluarga punya drama. Juga tragedi.
Anakku terbangun. "Bapak..." ucapnya sambil melihat ke arahku.
Aku tersenyum. Dia memelukku. Mungkin dia kangen. Aku pun memeluknya.
"Nanti kita bermain bola, ya..."
Aku mengangguk. Istriku masuk kamar. Dia bilang, sarapan pagi sudah siap...
Setelah sekian hari dihujani pengalaman yang meletihkan, di pagi ini, aku merasakan situasi yang agak tenang. Suasana yang tenteram.
Tapi sepertinya rasa itu tak berumur panjang. Ketika sesaat setelah makan, hampir saja tanganku mau menyentuh gelas berisi teh hangat, suara telepon berdering.
Telepon yang membuat aku kembali ditabrak oleh rasa letih...
(Puthut E.A.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar