Menghabiskan malam Minggu di "Checkpoint Cafe" Samarinda bersama barista Dwi Setyono. Ia bukan pemilik tempat ini, tapi juga bukan karyawan.
Dwi memiliki kedainya sendiri di pojok dan membagi hasilnya dengan pemilik tempat (setelah dihitung modal). Pemilik tempat menjual menu lain non-kopi dan menyediakan "live music".
Sebuah simbiosis mutualisme terjadi. Dwi sebagai barista yang telah memiliki "pengikut fanatik" membantu mendatangkan banyak tamu ke tempat ini. Sedangkan pengusaha pemilik tempat menyediakan tempat yang nyaman dan strategis bagi kedai kopi Dwi yang sebelumnya pernah tutup karena faktor lokasi.
Sebuah pilihan model bisnis yang "win-win" mengingat penggemar kopi biasanya enggan mendatangi tempat yang menjual banyak item menu non-kopi.
Salah satu item paling laris adalah "Shakeratto" (espresso dicampur sirup dan dikocok dengan es) yang dijual 20 ribu rupiah per cangkir.
Untuk "Shakeratto" ini ia memakai campuran kopi Gayo dan Malabar.
Obrolan malam ini juga ihwal lika-liku bisnis kopi di Nusantara seperti kopi Kalosi (Toraja) yang justru telah dipatenkan perusahaan Jepang.
"Indonesia ini dikenal kopi Gayo (Aceh), Kintamani (Bali), dan Kalosi (Toraja). Setelah dipatenkan orang lain, baru kita sibuk dan ribut," kata pria 34 tahun yang mengaku juga memantau perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru ini.
Saat akhir pekan seperti ini, Dwi rata-rata menjual 60 cangkir kopi.
Ekspedisi Indonesia Biru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar