DALAM film National Treasure, Benjamin Gates yang diperankan Nicholas Cage mendatangi Gedung Arsip Nasional untuk meminta izin melihat Naskah Proklamasi Amerika. Kepada Abigail Chase, kepala perpustakaan, Gates tak mau berterus terang mengapa dia membutuhkan naskah legendaris itu, yang disimpan dengan pengamanan sangat ketat.
Abigail: Ada apa gerangan dalam naskah itu?
Ben: Kami yakin ada enkripsi di balik naskah itu.
Abigail: Enkripsi?
Ben: Hmm, sebuah kartograf.
Abigail: Peta?
Ben: Ya…. peta
Abigail: Peta tentang apa?
Ben: Lokasi…, emm…, benda yang memiliki nilai historis dan intrinsik.
Abigail: Peta harta karun?
Ketahuan sebagai pemburu harta karun, Gates gagal meyakinkan Abigail. Dialog itu mewakili sebuah contoh bagaimana kata-kata sulit, seperti enkripsi, kartograf, dan intrinsik, dipakai untuk menyembunyikan kejelasan, hal-hal konkret, serta motif sebenarnya si pembicara.
Makin hari makin banyak istilah sulit dan kabur seperti itu di media massa kita. Inilah yang kita kenal sebagai jargon, yakni kata atau istilah yang hanya dipahami kalangan tertentu.
Makin banyak tokoh, ilmuwan, dan pejabat publik, termasuk presiden dan para menterinya, pamer jargon. Sebagian mereka menganggap jargon, khususnya dalam bahasa asing, bisa mendongkrak kualitas pesan mereka. Tapi lebih banyak dari mereka sebenarnya hanya ingin menghindar dari berbicara konkret dan spesifik, serta menyembunyikan motif. Ini makin lazim pada musim kampanye, ketika banyak politikus mengobral janji namun enggan ditagih kelak.
Lembaga publik, kantor kementerian, asosiasi profesi, polisi, tentara, pakar, dan politikus suka akan jargon. Setiap mereka memproduksi jargon setiap hari. Banyak wartawan, ironisnya, sering mengembangbiakkan jargon tanpa pernah benar-benar memahami artinya. Mereka hanya menelan pernyataan sumber berita, lalu memuntahkannya begitu saja di koran, radio, dan televisi.
Hari-hari ini, misalnya, media memberitakan "kejadian luar biasa" demam berdarah yang melanda banyak daerah akibat musim penghujan. "Kejadian luar biasa" adalah istilah teknis yang hanya dipahami aparat dinas kesehatan dan para dokter. Orang-orang di pasar hanya paham kata "wabah".
Tapi itu hanya satu contoh. Ada kecenderungan luar biasa sekarang ini untuk memakai bahasa yang makin rumit dan abstrak, ketimbang bahasa sehari-hari yang konkret dan bisa dipahami orang banyak.
Itu sebabnya alih-alih memakai "sekolah ditutup", kita cenderung mengatakan "kegiatan belajar-mengajar dihentikan". Kita lebih suka menulis "infrastruktur transportasi terdegradasi" ketimbang "jalan dan jembatan rusak"; atau menulis "stasiun pengisian bahan bakar untuk umum" ketimbang "pompa bensin". Kita bahkan makin terbiasa mengatakan orang miskin "mengkonsumsi" nasi aking, bukannya "makan".
Siapa pula yang paham ketika Menteri Keuangan mengatakan "obligasi rekap" dan Menteri Energi mengatakan "harga keekonomian"? Padahal, kewajiban menteri adalah menjelaskan kebijakan pemerintah sejelas-jelasnya kepada seluruh rakyat, orang-orang di pasar, petani, dan nelayan. Pemakaian jargon berjalan seiring dengan sikap tidak transparan, elitis, dan korup.
Polisi, seperti juga tentara, adalah lembaga yang cenderung tidak transparan sejak dulu, serta gemar menyelewengkan makna. Ketika seorang pejabat kepolisian mengatakan "pencuri diamankan", kita tahu dalam banyak kasus itu artinya "diinterogasi, dipukuli, dan disundut rokok".
Polisi juga paling keranjingan jargon, yang dikombinasikan dengan akronim, seperti kata "curat" (pencurian dengan pemberatan) dan "curas" (pencurian dengan kekerasan), sementara di pasar orang hanya paham: mencuri, mencopet, dan merampok. Sama sekali tidak jelas pula bagi orang di pasar ketika polisi mengatakan "tersangka di-DPO-kan".
Kerusakan makin parah karena banyak wartawan lupa pada salah satu tugas pentingnya, yakni mencari kejelasan dari kekaburan. Mereka terbiasa menyerah pada pernyataan kabur, seperti ketika polisi mengatakan "kami sedang mengembangkan kasusnya". Apa yang dia maksud "mengembangkan kasus"? Mengumpulkan bukti, mencari tersangka, atau melakukan otopsi?
Para wartawan sendiri makin sering memproduksi jargon, mengganti kata sederhana dengan istilah rumit. Kata "pasca" yang merupakan terjemahan dari "post" dalam jurnal-jurnal ilmiah, misalnya, makin sering dipakai untuk menggantikan kata "setelah" secara tidak tepat. Jika pernah mendengar judul berita "beban rakyat bertambah berat pasca-kenaikan harga elpiji", kita boleh khawatir kelak orang akan mengatakan "perutku mulas pasca-makan rujak".
Meski produk informasi makin banyak dan saluran komunikasi makin luas, jargon justru membuat pesan komunikasi publik makin sulit dipahami. Jargon mengkotak-kotakkan orang, mencegah orang saling memahami, dan mencegah birokrat berkoordinasi. Mereka bicara masing-masing dengan bahasa yang hanya dipahami diri sendiri.
Jargon juga alat efektif menyembunyikan motif dan kebohongan. Tidak transparan. Elitis. Korup.***
[Farid Gaban | Dimuat Majalah Tempo | 42/XXXVII 08 Desember 2008]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar