Lima orang. Empat laki-laki, dan satu perempuan. Semuanya berjaket gelap. Wajah mereka tak terlalu jelas. Pucat. Dingin. Mereka melangkah ke arah mobilku.
Setiap langkah mereka menginjak ranting dan dedaunan kering, menimbulkan suara tindihan, patahan, retakan. Aku seperti mendengar nafasku sendiri. Kulirik Om Tan juga diam. Diam yang tidak tenang sekaligus tidak gugup.
"Kaluar dari mobil." ungkap laki-laki yang lebih dulu mendekat di jendela sebelah Om Tan duduk. Kami keluar. Pagi itu sebetulnya cukup cerah, tapi tubuhku merasa agak dingin.
Bahu Om Tan dicengkeram salah satu dari mereka. Tiga orang mengelilingi Om Tan. Tiga laki-laki. Di sisi kiri mobil. Sementara seorang laki-laki dan seorang perempuan mengepungku. Aku bisa melihat pistol tersembul dari pinggang kedua orang itu.
"Kamu mau membongkar kuburan orang-orang komunis itu?"
Kalimat itu tidak keras benar. Tidak membentak. Diucapkan orang yang aku rasa pemimpin mereka, kepada Om Tan. Kembali, Om Tan dicengkeram, setengah diseret ke arah depan mobil. Aku seperti digiring ke arah yang sama. Tapi mereka tidak menyentuh satu pun anggota tubuhku.
"Tidak." ucap Om Tan lemah. Tapi bukan suara orang yang takut.
"Orang LSM brengsek! Kalian membangkitkan komunis di Indonesia! Jangan karena orang-orang Sukarno yang sekarang berkuasa, kalian bisa kembali menegakkan komunisme di negeri ini!"
"Aku bukan orang LSM, aku hanya ingin mengunjungi tempat bapakku meninggal dunia." Suara Om Tan terdengar tetap tenang.
"Bapakmu komunis?"
"Apakah kalau bapakku komunis, dia tidak lagi menjadi bapakku?"
"Asu!"
Plak! Terdengar suara bertemunya tangan orang itu dengan kepala Om Tan. Kacamata Om Tan terjatuh di dekatku. Perempuan yang menjadi bagian dari rombongan mereka lalu mengambil kacamata itu, kemudian diletakkan di atas kap mobil.
Pak, ada apa ini sebetulnya? Aku bertanya. Pikiranku mulai waras. Tidak mungkin kami dibunuh atau disiksa di sini. Paling hanya dipukul atau ditempeleng seperti yang barusan dilakukan kepada Om Tan.
"Kalian dapat duit berapa dari Pemerintah China untuk membangkitkan komunis lagi?"
Duit apa? Aku hanya mengantar temanku menunjukkan tempat di mana bapaknya mati.
"Mana KTP-mu!" Bukannya merespons apa yang kukatakan, pimpinan berkepala pelontos itu malah meminta KTP-ku.
Ada di mobil.
"Ambil!"
Aku baru saja mau menggeserkan kakiku ketika pintu mobil terbuka. Rus!
"Ada apa ini?!"
Aduh, persoalan bakal tambah runyam ini, batinku...
Rus setengah berlari menuju ke arah depan mobil. Tiba-tiba salah satu orang di antara mereka melentingkan tubuhnya, lalu terdengar dua suara beruntun, bertemunya kaki dengan kepala dan tubuh tambun.
Rus tergeletak. Diam-diam aku mengagumi gerakan orang itu, sekaligus agak ngeri. Duh, Rus...
Rus bangkit. Terhuyung. Tanpa dinyana, dia berteriak, "Aku wartawaaaan! Bunuh aku kalau beraniiiii!"
Aku benar-benar kaget dengan keberanian Rus. Kelima orang itu tampaknya juga kaget. Laki-laki berkepala plontos segera mencabut pistolnya. "Diam kamu, asu!"
Ditodong pistol, Rus tak terlihat jirih. Darah mengalir kecil dari hidungnya.
"Silakan Bapak tembak aku! Kantorku gak akan diam!"
"Kamu wartawan mana?!" bentak laki-laki itu.
"Aku wartawan Tempo, dia wartawan Kompas!" ujar Rus, makin mengeraskan suara sambil menunjuk ke arahku.
Jancuk, batinku.
Kelima orang itu berpandangan. Mereka terdiam. Jeda itu cukup panjang.
Pimpinan itu menyimpan pistolnya di pinggang, lalu menggelandang Rus untuk bergabung bersama kami di depan mobil.
"Aku ingatkan ke kalian, jangan berani-berani membangkitkan komunisme di negeri ini. Bilang ke bosmu di Tempo," sepasang mata laki-laki itu mencureng ke arah Rus, "jangan jadi agen bangkitnya komunisme!"
Tepat di saat itu, sebuah mobil datang. Suaranya menderu. Kami semua melengak ke arah mobil itu. Mendadak mobil itu memutar balik. Lalu melesat dengan cepat.
Seakan seperti refleks, kelima orang itu segera masuk mobil. Mesin mobil menyala. Melesat memburu mobil yang tadi memutar balik.
Tinggal kami bertiga. Di dalam hutan yang sunyi. Aku masuk mobil. Duduk. Mengambil air minum. Menenggak sampai habis.
Om Tan masuk ke dalam mobil. Rus juga.
Rus, kalau orang-orang tadi minta kartu pers, celaka kita. Ungkapku pelan.
"Kartu SIM-ku tertulis wartawan, Mas?"
Wartawan mana, kamu?
"Bukan wartawan. Dulu pas bikin SIM, aku masih aktif di pers mahasiswa. Pas kuperpanjang, gak diubah jenis pekerjaanku."
Asem kowe, lha kalau dia tanya kartu persku, gimana?
"Namanya juga spontan, Mas..."
Aku tak menyalahkannya. Mesin mobil kunyalakan.
Ke mana kita, Om?
"Balik lagi ke rumah makan tadi..."
Pelan, mobil keluar dari dalam hutan.
Om, mobil yang satu baru datang tadi siapa lagi?
"Itu kelompok lain yang semalam hampir saling tembak."
Oh... Siapa mereka? Siapa kedua kelompok itu? Tentara?
Om Tan menggelengkan kepala. Lagi-lagi dia hanya menjawab kalau dua kelompok itu adalah bagian dari dua kelompok politik di Jakarta yang sedang bertikai.
Siapa mereka? Tentara?
Om Tan hanya mengangkat bahunya. Mobil memasuki tempat parkir rumah makan. Om Tan keluar. Mengucapkan terimakasih.
"Begitu sampai Yogya, kita ketemu lagi, ya... Ada yang harus kusampaikan."
Aku mengangguk.
(Puthut E.A.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar