Saya percaya doa adalah wujud paripurna berserah diri seorang hamba pada tuhan yang ia percaya. Doa bukanlah alat todong, kita tidak sedang memaksa tuhan untuk mengabulkan permintaan kita. Pada banyak hal saya percaya doa seperti proposal, ia banyak diajukan, namun hanya sedikit yang dikabulkan.
Ketika mentri Lukman menganjurkan untuk sholat minta hujan, beberapa orang dhaif menyindirnya. Seolah sholat minta hujan itu tidak rasional. Bagi saya tidak ada doa yang rasional, itulah mengapa ia menjadi wujud ketaatan, wujud ketundukan dan wujud paripurna seorang hamba untuk takluk.
Dalam islam Sholat minta hujan itu ada amalannya. Ia tidak harus masuk akal bagi tiap orang. Tapi ia bisa jadi harapan bagi mereka yang percaya. Bagi mereka yang menolak percaya jadi orang yang rasional itu keren. Tapi mengejek iman dan ibadah seseorang itu perkara karakter. Menujukan kualitas didikan orang tua anda.
Saya percaya doa itu menggelikan jika tidak disertai dengan ikhtiar. Jika ikhtiar sudah dilakukan dan belum ada hasil ya doa bisa jadi semacam katalis, eskapis dan jalan paling akhir. Beriman kok diremehkan. Sok melecehkan sholat minta hujan karena gak rasional, tapi masih percaya sama zodiak. Bagi saya orang yang semacam ini layak disebut sampah peradaban.
Doa itu melunakkan hati yang keras. Melapangkan jalan yang sempit. Memudahkan perkara yang sulit. Mendekatkan pada yang jauh. Punya iman, punya tuhan, dan punya keyakinan kok dilecehkan. Keyakinanmu tak membuat keyakinan yg lain jadi lebih rendah karena tak rasional
Ketika Ustad Yusuf Mansyur mengajak 240 juta masyarakat Indonesia berdoa minta dolar turun, saya tertawa, tentu saya menyindir dan nyinyir. Bukan karena saya menghina ajakan doa itu. Tapi simplifikasi masalah yang menjadi dasar ajakan doa ustad Yusuf Mansyur.
Saya percaya tuhan maha kuasa, tapi perlukah kita meminta doa untuk sekedar menurunkan dolar? Ini bukan berkara dalil, saya bukan kelompok islam gengges yang gemar mempertanyakan dalil akan sebuah ibadah, seperti kelompok yang gemar membid'ahkan tahlilan dan ziarah makam.
Ajakan do'a ustad Yusuf Mansyur bermasalah karena ia, bagi saya, meremehkan kerja keras mereka yang bekerja untuk memperbaiki ekonomi Indonesia. Ia akan jadi istimewa jika ajakan doa itu untuk memberikan semangat dan kemudahan mereka yang bekerja untuk menurunkan nilai tukar kita.
Doa saya kira punya mekanisme dan logikanya sendiri, saya tidak mampu menjelaskan kepada anda, tapi begini. Doa minta dolar turun tanpa ada kerja keras seperti doa minta kaya tanpa usaha. Atau doa minta orang lain celaka agar kita beruntung. Saya bisa salah, tapi mendoakan agar orang yang bekerja agar kehidupan kita lebih baik, saya kira lebih mulia.
Lantas bagaimana posisi doa dalam Shalat Istisqa? Mentri Lukman mengajak kita berdoa dalam Shalat Istisqa sebagai himbauan solidaritas. Mereka, para relawan yang telah bekerja keras memadamkan api, telah berjuang demikian hebat. Mungkin, mungkin saya, ada doa beberapa dari kita yang diijabah dikabulkan membantu kerja mereka. Memudahkan mereka, jika asap ini hilang karena hujan, mereka yang telah lama pergi bisa kembali.
Saya kesal ketika mereka menyebutkan Shalat Istisqa tidak rasional. Bagi saya tiap wujud ibadah tidak pernah rasional. Itulah mengapa beragama membutuhkan keyakinan. Tuhan itu sedekat nafas, sejauh doa. Makanya saya selalu percaya ikhtiar dulu baru berdoa. Beberapa orang demikian yakin bahwa beragama berarti menanggalkan nalar, meninggalkan fungsi otak dan jatuh dalam dogmatisme buta. Tapi apakah benar demikian?
Ajaran agama saya mengajarkan untuk membaca dan tiada agama bagi mereka yang tidak berakal. Kitab suci adalah lentera, hadits adalah peta dan rasionalitas adalah tongkat pemandu jalan. Mereka bekerja sebagai satu kesatuan. Beriman tanpa akal hanya akan melahirkan fundamentalisme dan kekejian, berakal tanpa iman hanya akan melahirkan kesombongan dan penindasan. Ia klise tentu saja, bahkan pada banyak hal, seperti iklan obat. Sapu jagat tapi minim manfaat.
Ajaran agama saya tentu punya kekurangan, tidak relevan dalam masyarakat modern saat ini, dan mungkin ketinggalan zaman bagi mereka yang berpikiran maju. Ajaran agama saya pasti punya lubang, beberapa teksnya tidak sesuai dengan standar hak asasi manusia hari ini, mungkin ia memiliki tendensi misoginis, bahkan anda berhak menyebutnya produk purba barbar. Tapi yakinkah anda telah adil mengadili tiap teks ajaran saya dengan metode yang benar? Dengan pemahaman yang menyeluruh dan pengetahuan yang memadai.
Doa adalah satu bentuk ibadah, agama adalah ajaran. Ini adalah dua hal yang berbeda. Tapi beberapa meyakini esensi agama adalah berdoa. Karena, apa yang lebih menunjukan intisari agama selain kepasrahan diri seorang umat kepada tuhannya? Meski pada sisi lain saya percaya, beragama adalah bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan baik. Agama bisa jadi perkara memperbaiki diri dan bukan mengurusi diri orang lain.
Doa, seperti juga agama, merupakan satu usaha untuk menjadikan manusia pribadi yang lebih baik. Ibu saya adalah manusia doa. Ia tak pernah melepaskan diri dari dzikir serta doa. Ia percaya doa melebihi janji sepasang kekasih yang jatuh hati. Anda boleh mencibir, menghina, merendahkan dan melecehkan doa. Tapi apakah anda yakin, dalam hidup anda yang demikian hebat itu, tak ada satu doa ibu anda yang dikabulkan tentang anda?
Doa, bagi ibu saya adalah rasionalitas yang lain, cara masuk akal ketika segala ikhtiar dan usaha telah membentur dinding. Ia berdoa ketika saya dilahirkan, ia berdoa ketika saya sakit, ia berdoa ketika saya lulus kuliah, ia berdoa ketika saya di perantauan, ia berdoa ketika saya pacaran beda agama, ia berdoa ketika saya tak kunjung menikah, ia berdoa ketika saya tertidur. Cinta, bagi saya, adalah doa diam-diam ibu yang dipanjatkan ketika kamu bahkan tidak memintanya.
Tapi anda boleh tidak setuju, boleh menghina doa ibu dan saya, mencibir keyakinan kami. Tapi itu tidak akan membuat anda lebih mulia dari para pendoa, yang tulus mengharapkan kebaikan bagi yang lain.
(Arman Dhani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar