Seperti terjadi pada tahun-tahun belakangan ini, diskusi tentang PKI mengalami musim panen mulai awal September. September adalah bulannya peristiwa besar mengubah negeri. Namun karena peristiwa itu tepatnya terjadi pada malam 1 Oktober, isu ini pun biasanya akan bertahan hingga Oktober berakhir.
Saya harus berterima kasih pada era politik ini, sebab sampai tahun ketiga kuliah 2003-2004, saya tidak pernah tahu ada pembantaian massal anggota, simpatisan PKI, juga orang yang dianggap terkait dengannya. Padahal jumlahnya gila-gilaan, 500 ribu sampai sejuta. Bahkan sang komandan, Sarwo Edhie Wibowo sesumbar jumlahnya mencapai tiga juta.
Kedua orangtua saya juga tidak menyaksikan pembantaian macam itu. Jika mereka menyaksikannya, itu pasti tak akan luput dari segala topik yang dibicarakan di rumah saya, sebab kami keluarga yang terbiasa membicarakan banyak hal (politik). Yang justru sering diceritakan di keluarga kami adalah masa-masa pemberontakan DI/TII.
Wajar saja. Pertama, karena bapaknya ibu saya berhadapan dengan DI dalam Operasi Pagar Betis. Kedua, karena keluarga bapak saya di Malangbong harus bedol desa, evakuasi ke Bandung gara-gara DI/TII. Lalu bapak saya bilang bahwa di Jawa Barat tak terlalu banyak pembunuhan pasca-G30S karena untungnya ada faktor Ibrahim Adjie, pemimpin Divisi Siliwangi yang Soekarnois.
Bagaimana mereka melihat PKI? Ya jangan ditanya, mereka jelas anti-PKI, dan dalam derajat tertentu tidak mengingat Soekarno secara positif. Mereka lahir pada paruh kedua 50an, saat negeri ini sedang miskin-miskinnya. Yang diingat dari Soekarno adalah pawai dan paceklik pangan. Tapi tentu ada juga faktor ideologis.
Kakek saya dari pihak ibu adalah tentara didikan Jepang, Heiho. Pada Perang Kemerdekaan, ia bergabung dengan Hizbullah. Mungkin karena pernah mencicip jadi santri Tebuireng maka ia bergabung dengan kelompok ini. Terakhir, ia berada dalam kelompok Letkol Soeharto pada Serangan Umum 1949 di Yogyakarta. Di sinilah Djaelani muda sangat mengagumi Soeharto, meski ia kemudian ditempatkan tidak di Diponegoro, melainkan Siliwangi.
Di pihak sebelah, keluarga bapak saya Masyumi sekali. Tepatnya, muslim non-NU, sebab secara keanggotaan baru generasi belakangan saja ada yang aktif di Muhammadiyah. Meski ada juga yang masuk Tarekat Naqsabandiyah. Sebagai gambaran, pada pilpres lalu, kami sempat agak tegang juga karena bapak bicara dengan sentimen Masyumi menghadapi anak-anaknya (dan istrinya) yang memilih Jokowi. Tapi seperti saya bilang, ketegangan (atau diskusi) seperti itu biasa saja. Urusan lebaran saja serumah sering berlainan hari.
Intinya saya cuma mau bilang bahwa kedua orangtua saya anti-PKI. Tetapi, apakah menjadi anti-PKI berarti otomatis membuat mereka pro-pembantaian terhadap orang-orang PKI? TIDAK. Jika saja waktu itu mereka sudah dewasa atau setidaknya remaja, saya yakin mereka akan jadi anggota KAMI atau KAPI. Dan menurut saya, orang yang menginginkan rezim Soekarno jatuh tidak berarti mereka setuju apalagi senang dengan pembantaian anggota PKI.
Tapi di media sosial dua bulan ini saya menyadari sesuatu. Aktif dalam demonstrasi melawan Soekarno pun dianggap awalan (atau pra-teks) dari peristiwa pembantaian PKI. Bahwa menjadi seniman anti-Lekra dan aktivis partai politik yang berseberangan dengan Soekarno dan PKI pun kerap dianggap seperti menyediakan justifikasi untuk pembunuhan orang kiri.
Ini membuat saya yang dibesarkan dengan ideologi keluarga seperti di atas, namun mendapat pengetahuan dan kesadaran politik baru, merasa ada perasaan yang aneh. Perasaan yang sangat tidak enak. Rasanya terlalu banyak moralisme yang anakronistik. Orang misalnya, dihujat karena mendirikan Golongan Karya, seakan-akan orang-orang tersebut harus tahu sejak awal bahwa rezim ini kemudian akan rakus dan otoriter.
Orang-orang lain, misalnya, dihujat karena dianggap bungkam atas pembantaian. Setahu saya ada yang tidak bungkam, seperti Soe Hok Gie. Tapi masalahnya kan kemudian dia tewas saat mendaki gunung. Selebihnya, mungkin orang-orang memang takut. Atau mungkin pragmatis saja, bahwa jikapun mereka bicara, mereka akan “dihabisi” tanpa sempat melakukan apa-apa.
Mungkin. Saya belum tahu alasan pasti mereka. Yang jelas, menurut saya, melakukan penghakiman anakronistik pada orang yang hanya berbeda secara politik dan tidak melakukan pembunuhan, tidak ada gunanya. Orang akan semakin menjauhi ide bahwa negara ini harus merehabilitasi hak-hak sipil anggota PKI dan orang kiri pada umumnya, juga keturunan mereka.
[Bagi yang anti-rehabilitasi hak-hak sipil mantan anggota PKI, tolong jangan memakai argumentasi bahwa “PKI juga dulu kejam dan karenanya mereka duluan harus minta maaf.” Saya yakin eksponen ’48 sudah hampir habis, dan pelaku clash ‘48 tidak terkait dengan negara. Juga, perlu diingat bahwa pada 1948 negara ini secara de facto belum merdeka betul, masih harus berebut dengan Belanda. Republik Indonesia baru berupa proklamasi yang sedang diperjuangkan setengah mati lewat konfrontasi dan diplomasi.]
Kembali ke soal moralisme yang anakronistik, mungkin memang lidah tidak bertulang. Itu sebabnya kita gampang saja menyebut banyak pihak sebagai pihak yang terlibat pembunuhan, atau “tidak secara tulus membela korban 65.” Tuduhan yang serius, tetapi mungkin murah bagi orang yang mengatakannya. Semurah omongan Taufik Ismail yang selalu menganggap pembantaian tak perlu diungkit lagi, dan bahwa negara tidak perlu meminta maaf.
Sebelum Oktober ini berakhir, saya ingin mengatakan sesuatu yang sebelumnya tidak berani saya utarakan: Bukankah kita tidak sedang mencari pihak (paling) protagonis dalam sejarah? Bukankah yang ingin dicapai adalah keadilan dan rehabilitasi hak-hak korban, juga kebebasan kita untuk membicarakan dan menuntutnya? Jangan sampai terjadi lagi pengusiran dan pengingkaran seperti dialami Tom Iljas. Jangan sampai lagi terjadi pemberangusan pendapat seperti pada majalah Lentera dari Salatiga.
(Maulida Sri Handayani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar