Saya selalu menyukai silogisme Amartya Sen ini: demokrasi memang tidak memproduksi makanan, tapi tak ada satupun rezim demokratis yang ingin kehilangan suaranya dalam pemilu hanya karena gagal menyediakan pangan untuk warganya. Itu sebabnya, demikian Sen, hanya ada sedikit sekali kasus kelaparan di negara-negara demokratis. Sen menuliskan itu dalam bukunya, "Poverty and Famines" (1981).
Poinnya jelas, secara normatif, untuk menang pemilu dalam sebuah sistem demokrasi, setiap rezim harus memperhatikan dan melayani kepentingan para pemilihnya.
Oleh karenanya cukup mengherankan, di tengah bencana kebakaran hutan dan lahan gambut paling buruk sepanjang sejarah, yang membuat hampir seluruh wilayah Indonesia saat ini terpapar asap, kecuali sementara ini Jawa, Bali dan kepulauan Nusa Tenggara, presiden kita yang terhormat memilih untuk melakukan lawatan bisnis ke Amerika daripada memimpin dan mengatur pengerahan sumber daya untuk melakukan tindakan tanggap darurat.
Tentunya mustahil, apalagi bagi lingkaran inti kepresidenan, untuk sampai mengabaikan persoalan sensitif semacam penanganan bencana asap ini, kecuali ada persoalan lain yang dianggap mereka lebih penting. Kita tahu, sebelum ini presiden selalu ingin mendapat kredit, bahkan untuk hal-hal kecil yang levelnya hanya setingkat pekerjaan dirjen atau kepala daerah. Bagaimana bisa persoalan sensitif seperti tragedi asap ini diabaikannya?
Persis di situ saya teringat pada silogisme Sen tadi. Setiap rezim harus melayani kepentingan para pemilihnya. Sekali lagi: PEMILIHNYA. Dengan memilih pergi ke Amerika, di tengah kondisi tanah air seperti yang kita saksikan hari ini, kita tahu apa dan siapa yang dianggap lebih penting oleh presiden pada saat ini.
Bagi presiden, "para pemilihnya" yang akan ditemui di negeri Paman Sam sepertinya jauh lebih penting dari pemilihnya di Kalimantan, Sumatera, atau Papua. Mungkin dalam anggapannya, suara "para pemilih" itu yang akan jadi penentu nasib kekuasaannya.
Di situlah persis bedanya bobot suara rakyat dengan suara CEO. Sesudah memanjakan modal dari Timur, kini saatnya memanjakan modal dari Barat sebagai perimbangan. Bukan begitu, Tuan Presiden?!
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar