Suatu malam sekitar 11 tahun yang lewat, Ketut Rina dan rombongan tampil memukau di halaman Bentara Budaya, Kompas. Kelapa-kelapa dibakar dan ditendang-tendang. Suasana menjadi agak magis. Lalu, “cak...cak...cak...”
Persis ketika dari mulut para penari keluar suara “cak... cak” itu, Voja anak saya berlari mendekat ke arah saya lalu bertanya: “Pa kenapa mereka memanggil nama Papa?”
Saya paham Voja tidak mengerti para penari itu sedang menari Kecak, dan tidak sedang memanggil nama saya, tapi saya pun sebetulnya tak mengerti mengapa banyak orang memanggil saya “cak,” “Cak Rusdi.” Seumur-umur, hanya adik kandung saya yang memanggil saya “cak” atau “cacak.” Itu pun sangat jarang, tapi sejak tinggal di Jakarta, banyak orang memanggil saya “cak.” Entah siapa yang memulai, karena saya tak pernah membahasakan atau meminta dipanggil dengan sebutan apa pun termasuk “cak” itu. Saya juga tak pernah menulis nama saya dengan nama depan “cak,” misalnya agar orang memanggil saya “cak” seperti yang dilakukan oleh beberapa kawan.
Saya hanya tahu secara terbatas, “cak” adalah panggilan popular di Surabaya [dan kota-kota di sekitarnya seperti Jombang, Mojokerto, Sidorajo, dan Gresik] sebagai pengganti untuk sebutan kakak atau panggilan akrab, meskipun tak semua laki-laki yang lebih tua akan dipanggil “cak” atau “cacak.” Mereka yang dipanggil “cak” biasanya adalah orang-orang tertentu yang dihormati dan disegani.
Para korak [preman] di Surabaya dipanggil “cak” karena mereka dianggap jagoan. Dan di kalangan mereka, hanya para senior yang dipanggil “cak,” dan biasanya para senior itu memang lebih tua usianya dan lebih kenyang dengan pengalaman. Para yunior dipanggil “cak,” hanya oleh para “korban,” misalnya pelacur, sebagai tanda penghormatan dan meminta perlindungan.
Untuk orang-orang seperti Nurcholis Madjid dan Emha Ainun Najib [keduanya kebetulan berasal dari Jombang], dipanggil “cak” karena mereka dianggap intelek dan alim [berilmu]. Mereka yang berilmu ini tak harus lebih tua usianya dari yang memanggil. Gus Dur yang usianya lebih tua dari Emha misalnya, tetap memanggil Emha “Cak Nun.”
Panggilan “cak” itu pun terbatas digunakan untuk laki-laki dari kalangan awam dan bukan untuk kalangan elite, misalnya dari pesantren. Gus Dur, Gus Sholah [Sholahudin Wahid], Gus Ipul [Syaifullah Yusuf] yang berasal dari lingkungan pesantren karena itu tidak dipanggil “cak” melainkan “gus.” Ada beberapa yang memanggil Cak Iful untuk Syaifullah Yusuf, tapi mereka yang memanggil dengan sebutan “cak” biasanya tidak mengerti latar belakang Gus Ipul.
Termasuk kelompok awam dalam konteks ini adalah para pejabat pemerintah, terutama di Surabaya. Hampir semua walikota Surabaya karena itu dipanggil “cak” kecuali Tri Rismaharini, karena dia perempuan. Ada Cak Poer [Poernomo Kasidi], Cak Narto [Sunarto], Cak Kamto [Soekamto] dan lain-lain. Beberapa gubernur Jawa Timur seperti Soekarwo, juga dipanggil “cak” meskipun Karwo berasal dari Madiun yang sama sekali tak mengenal panggilan “cak,” tapi M Noor, gubernur Jawa Timur yang berasal dari Sampang, Madura tidak panggil “cak” melainkan “Pak Noor.” Dan tokoh nasional asal Surabaya seperti Roeslan Abdulgani dipanggil “cak” karena ketokohannya.
Belakangan, panggilan “cak” tak hanya ditujukan untuk laki-laki asli Surabaya, melainkan juga kepada para pendatang dari suku-suku lain yang menetap dan tinggal di sana. Banyak laki-laki Ambon, Batak, Bugis yang sudah menetap bertahun-tahun dan beranak-pinak di Surabaya, yang dipanggil “cak,” selain tentu orang Madura. Karena sangat popular, panggilan “cak” lantas digunakan untuk menyebut anak muda yang memenangkan kontes pemilihan raja-rajaan dan ratu-ratuan: Cak untuk pemenang laki-laki, dan Ning untuk perempuan. Soal apakah mereka benar dipanggil “cak” di rumah atau di lingkungannya, itu perkara lain karena sebagian orang Surabaya, justru menggunakan panggilan “mas” untuk menyebut laki-laki yang lebih tua.
Dan entah bagaimana ceritanya, banyak laki-laki asal Jawa Timur yang merantau, kemudian juga dipanggil “cak.” Di Jakarta misalnya, laki-laki para pedagang soto atau pecel lele Lamongan, selalu dipanggil “cak.” Begitu juga dengan orang-orang Madura penjual sate, pedagang besi tua, dan kayu bekas. Mungkin karena awalnya, mereka, orang-orang Lamongan atau Madura itu kerap mengaku berasal dari Surabaya setiap kali ditanya, meskipun jarak Lamongan ke Surabaya mencapai seratus kilo. Mirip-mirip dengan orang-orang Batak yang mengaku-aku berasal dari Medan meskipun mereka asli dari Brastagi atau Toba, atau orang-orang Minang yang mengaku-aku berasal dari Padang meskipun berasal dari Pariaman.
Saya tak pernah mengaku-aku berasal dari Surabaya, tapi sejak menetap di Jakarta awal 90-an, banyak orang memanggil saya “cak,” hingga sekarang. Saya menduga, panggilan “cak” ditujukan pada saya karena mereka tahu saya berdarah Madura, meskipun masyarakat Madura sebetulnya tak mengenal panggilan “cak.” Mereka memanggil laki-laki yang lebih tua dengan sapaan “kakak,” dan untuk yang lebih muda disapa “alek.”
Dan bertahun-tahun kemudian, Voja yang mulai mengerti “cak” adalah panggilan untuk saya, malah sering meledek saya. Dia sering menyanyi “cacak cacak di dinding...”
(Rusdi Mathari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar