Di balik kekalahan telak AS Roma atas Barca, tentu ini hal yang menarik bagi sebagian kecil pencinta ilmu racik sepakbola. Saya juga.
Setidaknya ada tiga alasan sederhana untuk memahami psikologi Rudi Garcia sebagai juru taktik kesebelasan serigala itu. Pertama, dalam logika Liga Champions, kalah banyak atau kalah sedikit melawan Barca adalah hal yang sama. Tapi tampaknya Garcia lupa bahwa ada istilah 'seri' dalam pertandingan sepakbola, dan masing-masing tim mendapatkan poin satu.
Kedua, menang di kandang Barca adalah impian hampir semua pelatih di seluruh penjuru dunia. Dengan komposisi pemain terbaik, dengan prestasi gemilang, maka pelatih kesebelasan mana pun akan terpicu untuk membuat prestasi. Belum tentu seumur hidup mereka bisa merasakan prestasi itu.
Ketiga, Garcia terpancing dengan perang urat saraf yang dilancarkan oleh pihak Barca. Pancingan pertama, Barca 'memuji' bahwa Roma bakal tampil menyerang, tak seperti ketika bermain di kandang. Pancingan kedua, Barca menebar 'rayuan' akan membeli Florenzi. Garcia lupa bahwa perang rayuan itu khas milik Barca. Bahkan ketika hendak menjamu Barca di kandang pun, Barca sudah kemayu ingin membeli Pjanic.
Garcia harus diakui adalah salah satu peracik terbaik yang pernah berlabuh di Roma. Tapi memang harus ada beberapa penyesuaian yang harus dilakukan. Salah satunya adalah mental. Kita tahu, pelatih-pelatih sepakbola juga dibekali dengan kemampuan adu mulut dan bersilat lidah. Semua ada dalam bingkai besar strategi perang. Garcia, sayangnya, teramat flamboyan untuk tahu itu. Dia pria Perancis yang seakan tidak mau mengotori mulutnya dengan kemampuan casciscus yang seronok. Hal lain, Garcia juga butuh waktu untuk mempelajari gaya pertahanan gerendel ala Italia. Semua kesebelasan Italia menganggap bahwa taktik ini adalah bagian dari pengetahuan dan ketrampilan dasar dalam bermain sepakbola.
Walhasil, datanglah Garcia melawat dengan seleranya yang kelewat tinggi sebagai seorang pelatih sepakbola. Sampai dia lupa bahwa skuat yang dibawanya tak sempurna. Il Capitano Totti cedera. Penerusnya, De Rossi pun cedera. Di kesebelasan lain, orang boleh saja meminggirkan fungsi seorang kapten secara psikologis. Tapi hal itu tidak berlaku di Roma. Di kandang serigala, Kapten adalah nomor tiga setelah Tuhan dan Paus.
Sementara itu, Garcia juga lupa bahwa dua penyerang terbaiknya yakni Salah dan Gervinho absen karena cedera. Saya tak bisa membayangkan bagaimana Roma tampil di kandang Barca tanpa kapten (sebenarnya), dan tanpa kedua penyerang cepat itu. Makin tak bisa mengerti ketika Roma memainkan gaya menyerang. Ingin menang memang mulia dalam sepakbola, tapi kadang kelewat mulia sehingga lupa bahwa selain menang bisa saja kalah. Bukan hanya kalah biasa, tapi kalah telak.
Dan beginilah yang kemudian dimainkan oleh Garcia. Pertama, menaruh Florenzi di barisan sayap serang. Memang, mulanya Florenzi adalah pemain di posisi tersebut. Tapi Garcia pula yang akhirnya bisa membesut pemain berbakat itu di bagian belakang. Florenzi memang pernah dimainkan sebagai gelandang, dan gagal. Tapi bukan berarti kemudian posisinya bisa dinaikkan ke posisi depan. Hasilnya terlihat, Florenzi yang dinamis dan punya kekuatan fisik luarbiasa itu, justru sering telat turun ketika Roma diserang.
Sebagai ganti posisi Florenzi, Garcia memainkan Maicon. Duh, Gusti... Memang salah satu kelebihan Maicon adalah kecepatannya dalam memberikan dukungan serangan dari belakang. Tapi itu berlaku ketika menghadapi tim yang pemain sayapnya lemah dan tak cepat. Sementara Barca adalah gudang pemain gesit nan cepat. Maka yang terjadi, benar Maicon sesekali bisa menerobos ke depan, tapi Roma harus kehilangan fungsi utama Maicon dan membayarnya dengan dua gol pertama yang terceplos karena absennya Maicon di area yang sangat krusial. Dua gol pertama inilah sekaligus yang menghantam apa yang paling penting dimiliki oleh para pemain sepakbola: mental.
Jadilah kemudian, Roma menjadi bulan-bulanan Barca.
Kalau saya jadi peracik Roma, saya akan sadar diri bahwa hasil terbaik Roma tanpa tiga atau empat pilar utama mereka adalah seri. Atau setidaknya kalah sedikit gol. Lho tapi kalah sedikit gol kan tidak berpengaruh? Ya, secara matematika. Tapi tidak secara mental. Sepakbola adalah perang (war), bukan pertempuran (battle). Sehingga mental skuat harus dijaga demi rentetan laga panjang baik di Liga Campions maupun Serie A.
Garcia juga tidak perlu malu untuk terus memperdalam kemampuannya dalam menyajikan pertahanan gerendel. Tidak perlu malu mengakui hal itu sebagai bagian dari kultur sepakbola Italia. Sebagaimana masyarakat Sunda tak perlu malu dengan uluk salam 'Sampurasun', dan masyarakat Jawa dengan 'Kulanuwun'.
Tuan Garcia, sedikit cerita untukmu. Dulu, ada mahasiswa dari Ternate yang kuliah di UGM. Saking pengennya dia belajar bahasa Jawa, dia tak malu mempraktekkannya. Hingga suatu sore, dia menjadi bahan tertawaan orang karena mengetuk pintu kos temannya sambil teriak-teriak: "Maturnuwun, maturnuwun!"
Padahal maksudnya: Kulanuwun.
Tak perlu malu, Garcia. Dan tak perlu merasa harus terbebani dengan misi yang kelewat mulia. Kita jadi manusia yang biasa saja...
•••
Cat: tulisan ini sebetulnya mau dipersembahkan untuk Fandom. Tapi saya malu kepada Sirajudin Hasbi hahaaha...
(Puthut E.A.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar