Hari ini saya jadi ingat sebuah peristiwa lama yang punya relevansi awet, berpuluh tahun kemudian. Ingatan ini dipicu oleh diskusi belakangan di seputar peringatan 50 tahun pembunuhan 1965, dan debat soal International People’s Tribunal di Den Haag.
20 tahun lalu, ketika terjadi konflik besar-besaran di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, ada rombongan tamu dari Jakarta. Salah seorang di antara mereka adalah perwira tinggi militer beragama Kristen. Dalam pertemuan dengan perwakilan KPD, si jenderal ini menasehati kami agar waspada. Menurut sang perwira, konflik dalam UKSW itu merupakan politik adu-domba. Karena ada pihak komunis yang sudah menyusup dan ingin menghancurkan univeritas Kristen ini. Jadi kami diminta “sadar dan waspada”.
Mendengar itu, kebiasaan usilku terangsang sampai di ubun. Sudah 30 tahun generasi kami dicekoki sampah propaganda militer seperti ini sampai muntah-muntah. Jadi sesudah tamu yang terhormat ini selesai bicara, aku angkat tangan dan minta izin memberi tanggapan.
Kira-kira yang aku bilang waktu itu: “Bapak sebaiknya juga berhati-hati. Kalau kita boleh memakai logika Bapak, bisa dikatakan bahwa selama 30 tahun ini militer Indonesia telah diadu-domba dengan PKI oleh pihak luar yang ingin menghancurkan Indonesia. Lihat akibatnya, militer membunuh warga sebangsanya sendiri, karena telah disusupi oleh pihak yang anti-Indonesia. Jadi kami mohon Bapak sadar”.
Semua yang hadir terpingkal-pingkal. Tetapi sejak itu aku tidak dilibatkan lagi dalam berbagai perundingan dengan tokoh-tokoh dari kedua kubu yang bertikai. Kedua pihak menganggap keusilanku kalau pas kumat bisa “keterlaluan”.
(Ariel Heryanto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar