Posting ini sejatinya tidak bercerita soal jembatan "Indiana Jones".
KETAMBE di Aceh Tenggara adalah salah satu lokasi yang banyak dikenal pecinta lingkungan karena wisata alamnya. Sebagian masuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Oktober 2015 lalu, salah satu jembatan di Desa Simpur Jaya, putus diterjang banjir sungai Alas. Warga lalu membangun jembatan darurat ini, sembari menunggu perbaikan yang dijadwalkan akhir tahun ini.
Tapi saat mengambil gambar, warga mendatangi kami dan tidak mengeluh soal jembatan ala film "Indiana Jones" ini. Yang mereka keluhkan adalah pihak Taman Nasional Gunung Leuser yang dianggap tidak memberi cukup ruang kelola untuk masyarakat.
Ismail (44) maju sebagai jurubicara warga.
"Kami sudah ganti orang tiga kali di sini (tiga generasi). Dari dulu kami hidup di sini. Sekarang mau tanam karet saja tidak bisa. Bahkan ada karet yang sudah ditanam, dibongkar oleh Taman Nasional," keluhnya.
Warga lain datang memakai motor, dan membenarkan Ismail.
"Kemarin kami demo, Pak (6 Oktober 2015). Sempat ada yang lempar-lempar juga. Saking sudah marahnya. Kalau pengusaha bisa dikasih (lahan konsesi) ribuan hektare. Masak kami masyarakat tidak bisa mengelola sedikit saja," timpalnya.
Desa Sampur Jaya berpenduduk 132 kepala keluarga, atau sekitar 700 jiwa. Ini adalah desa terakhir di Aceh Tenggara yang berbatasan dengan Kabupaten Gayo Lues. Sebagian besar warganya bertani karet, coklat, atau kemiri. Saat harga karet sedang anjlok seperti sekarang, volume panen yang kecil karena keterbatasan lahan, makin menghimpit petani.
"Orang terkaya di desa ini punya berapa hektare?" tanya kami ingin mengetahui skala ekonomi lokal.
"Hanya tiga hektare. Itu sudah enam anak," sahut Ismail. Menurutnya, rata-rata warga hanya mengelola setengah hektare. Dengan pertambahan penduduk, luas lahan peninggalan orangtua dianggap tak lagi mencukupi daya dukung ekonomi masyarakat.
"Apalagi kami satu desa tidak ada yang jadi pegawai. Pegawai negeri orang dari luar semua di sini," imbuhnya.
Kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 1980. Luasnya mencapai 1,094 juta hektare yang berada di enam kabupaten di Aceh dan tiga kabupaten di Sumatra Utara. Tahun 2004 lalu, TNGL dinobatkan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia oleh Unesco.
Hubungan antara Taman Nasional dan warga masyarakat yang kami temui sepanjang perjalanan memang tak selalu harmonis. Di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (Jawa Barat), masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar relatif dapat hidup harmonis meski ada masalah batas.
Di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, masyarakat Tengger di Ranu Pani (Lumajang) hidup dari bertani kentang di lahan miring, di daerah kantong (enclave) seluas 500 hektare yang tak mungkin bertambah, sementara penduduk telah mencapai 1.300 jiwa dan terus bertambah.
Di Taman Nasional Ujung Kulon, ada konflik dengan nelayan yang berujung pada pengadilan. Begitu juga di Taman Nasional Komodo yang pernah terjadi insiden penembakan nelayan yang menelan korban jiwa.
Tampaknya perlu terus diusahakan formulasi dan konsep agar kepentingan konservasi, tidak hidup di ruang hampa atau berhadap-hadapan dengan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar hutan.
"Kami hanya minta agar dua kilometer dari kanan kiri jalan ini, bisa dikelola oleh masyarakat. Kami akan ikut aturan, misalnya tidak boleh dipindahtangankan atau dikelola orang lain dan sebagainya. Hanya untuk warga desa ini saja. Kami mau ikut, Pak," pungkas Ismail yang lebih tertarik berbicara tentang fundamental ekonominya, daripada jembatan ala "Indiana Jones" yang dianggapnya hal biasa.
"Tolong disampaikan soal lahan ya, Pak," tutupnya melepas kepergian kami, seolah khawatir kami lebih tertarik tentang cerita jembatan.
Ekspedisi Indonesia Biru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar