Kalau background saat Pilpres kita buka kembali, secara kuantitatif para mantan jenderal relatif terdistribusi merata di kedua kubu capres. Hanya, secara kualitatif, anatominya berbeda jauh di kedua kubu. Para jenderal dengan latar belakang tempur dan lapangan, banyak berposisi di kubu PSD. Sementara, para jenderal dengan latar belakang teritorial dan intelijen hampir seluruhnya berada di kubu JKW. Anatomi ini menarik untuk ditelaah sebenarnya, tapi bukan itu yang mau saya bahas.
Jadi, kalau MS yang mantan wakil kepala BIN kemudian bisa menjadi Presiden Direktur PTFI, itu mestinya bukan hal yang aneh. Mungkin ada 'case' spesifik yang telah membuat MS dipercaya JRM untuk menduduki posisi itu. Hanya saja, latar besar tadi membuatnya jadi lebih relevan.
PTFI adalah gula-gula yang dikerubuti oleh banyak semut. Dan untuk menghadapi atau memoderasi para semut berlatar belakang intelijen, seseorang dengan latar belakang serupa tentunya lebih disukai.
LBP, yang menjadi salah satu blok kepentingan yang berpengaruh dalam soal PTFI juga punya latar belakang intelijen kuat. Sejak lama saya menganggapnya sebagai "king maker", lebih dari seniornya, HP.
Karena arah bola liar pembukaan rekaman di MKD sangat terbuka menyasar LBP, makanya menarik untuk ditelaah apakah MS menyadari konsekuensi sasaran itu atau tidak. Jika tak menyadari itu, tak ada poin yang menarik. Tapi kalau ternyata dia menyadari, tentunya ada poin yang sangat menarik di sini, yaitu ada apa ini kok junior sikut-sikutan dengan senior, padahal mereka berada dalam satu perahu besar yang sama?!
Saya juga tertarik pada poin lain. Sebenarnya dibukanya rekaman percakapan MS dengan SN dan MRC itu dalam pandangan awal merugikan PTFI sendiri. Ini merusak nama baik perusahaan, karena membuka dapur lobi dan PR-nya sendiri, dengan segala kasak-kusuknya.
Kunci yang menghalangi PTFI untuk memperpanjang kontrak dan izin ekspor kini dipegang baik oleh pihak eksekutif maupun legislatif. Dibukanya rekaman itu, yang berpotensi menggusur seorang aktor penting di legislatif, telah membuat kasus ini mendapatkan sorotan. Efeknya, revisi UU Minerba, yang menjadi salah satu penentu keberlangsungan bisnis PTFI, ke depannya jadi rawan diwarnai oleh perkubuan yang tajam. Dan ini sebenarnya, dalam pandangan pertama, tidak bagus buat PTFI.
Persis di situ muncul pertanyaan menarik: jika dalam pandangan pertama semua hal itu tadi tidak menguntungkan buat PTFI, lalu untuk apa MS memainkan semua lakon yang bikin gaduh ini?!
Menarik untuk memperhatikan, di hadapan MKD, MS mengaku bahwa jabatannya sebagai Presdir PTFI dievaluasi setiap tahun. Karena dia diangkat pada Januari 2015 lalu, maka dia akan dievaluasi pada Januari 2016. Kontraknya bisa diperpanjang, bisa juga tidak.
Nah, rekaman yang bikin gaduh ini terjadi pada bulan Juni 2015, tapi baru diberikan kepada SS sekira Oktober 2015, ketika isu reshuffle jilid kedua mulai mengemuka. Di sini kita melihat bahwa baik SS maupun MS sama-sama sedang berkepentingan dengan masa depan karirnya.
Izin perpanjangan ekspor Freeport sejauh ini hanya berlaku per enam bulan, dan akan habis pada Januari 2016, ketika masa jabatan MS akan dievaluasi. Hanya bisa memperpanjang MoU izin ekspor tentunya bukan prestasi yang diharapkan JRM ketika mengangkat MS.
Begitu juga halnya dengan SS. Ia tak kunjung merevisi PP yang dibutuhkan PTFI sebagaimana yang dijanjikannya. Sesudah RR masuk kabinet, posisinya juga makin tertekan. Apalagi sesudah skandal upaya penyelundupan aturan oleh SS dalam paket kebijakan ekonomi pemerintah dua bulan lalu diketahui oleh RR. Posisinya sudah terjepit.
Dalam situasi itulah MS menyerahkan transkrip dan rekaman pembicaraan bulan Juni itu kepada SS, yang kemudian diteruskan ke MKD.
Sebetulnya, laporan itu seperti "one way ticket", baik bagi SS maupun MS. Khusus SS, kini paling tidak dia jadi bermusuhan dengan dua Menko, RR dan LBP. Posisinya di kabinet makin sulit. Begitu juga bagi PTFI, mereka kini berada dalam sorotan, dimana MS persis menjadi figur sentralnya. Hanya, seandainyapun SS dan MS kemudian kehilangan jabatannya, kasus ini telah memposisikan keduanya, sejauh ini, sebagai "pahlawan". Sebagai pribadi, mereka kini malah jadi punya tiket untuk diterima kembali oleh publik.
Tapi, benarkah secara institusi PTFI dan Freeport McMoRan sebagai induknya tidak mendapatkan benefit sama sekali dari kekisruhan ini?!
Persis di sini kita patut khawatir. Kasus rekaman ini telah menempatkan PTFI sebagai "korban" dari "pemerasan" oleh pejabat Indonesia, baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif. Dan mengutip ancaman MS soal arbitrase internasional jika kehendaknya tak dipenuhi, kasus ini memberi mereka legal standing yang kuat untuk menekan posisi Indonesia.
Jadi, tetap berada di dalam atau terlempar dari kabinet, tetap menjabat Presdir PTFI ataupun dipecat, dengan kasus ini baik SS maupun MS sebenarnya sama-sama telah memberikan keuntungan yang besar bagi PTFI dalam posisi sengketanya dengan pihak Indonesia kelak.
Dan sementara SN telah dan sedang diadili di muka publik, SS dan MS kemungkinan tak akan mendapatkan pengadilan apapun. Mereka malah mendapatkan benefit karena telah "dipahlawankan" oleh mereka yang berpandangan miopik.
(Tarli Nugroho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar