Seperti biasa, saya sampai di rumah pukul 1 dinihari lewat sedikit. Agenda malam ini tak banyak amat. Hanya ngobrol dengan seorang kawan lama, dan dua orang kawan baru.
Biasanya begitu pulang, saya akan ngecek media sosial sebentar. Ngetwit lucu-lucuan dan memberi komentar-komentar di Facebook, lalu agenda paling penting adalah mengecek pekerjaan. Dilanjut kemudian dengan menulis email. Baru kemudian menulis. Ada satu laporan dan satu tulisan yang harus saya kerjakan.
Lalu demikianlah yang terjadi. Perut melilit, bertabuh, kelekih. Setelah saya tahan sejenak untuk menuntaskan menulis email ke beberapa orang, saya melangkah ke dapur. Indomie habis. Telor kosong. Nasi dan lauk telah tandas. Hanya tersisa beberapa keping biskuit dan kacang mete segenggam.
Saya lirik di tabung makan Kali, ada roti Boy kesukaannya. Masih ada satu. Roti itu dibeli ibunya tadi sore, ketika kami sekeluarga pergi ke mal untuk membeli buku. Setiap ke mal, Kali selalu minta roti kesukaannya dua buah. Satu langsung dimakan begitu tiba di rumah. Satu lagi untuk sarapan keesokan harinya.
Saya menahan diri untuk tidak mengambil roti yang ukurannya sungguh biadab itu, makan satu kurang, makan dua terlalu kenyang. Saya takjub dengan orang-orang yang bisa menemukan ukuran porsi bedebah macam itu. Mirip Indomie goreng. Makan satu tambah lapar, makan dua pengen muntah.
Saya mencoba mengambil kepingan biskuit. Sampai yang ketiga, rasanya malah tambah lapar. Saya minum air putih segelas. Lalu diam. Eh, lapar tak juga hilang, dan mendadak rasa lezat roti Boy itu seakan lumer di mulut saya.
Saya mengingat Kali. Betapa dia bangun pagi akan kecewa karena roti kesukaannya lenyap kalau saya makan.
Kemudian saya mencoba menulis. Baru satu paragraf, rasa lapar makin menyerang.
Akhirnya saya bangkit, memakai jaket, mengambil dompet, menyahut kunci mobil. Kemudian saya buka pintu. Tapi pintu yang saya buka bukan pintu depan melainkan pintu belakang, pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan dapur mungil keluarga kami. Dengan cepat saya buka tabung makanan Kali, saya ambil roti Boy, membuka bungkusnya, duduk, dan telap-telep saya sikat sampai habis.
Pelan saya masuk ke dalam rumah lagi. Saya letakkan kunci mobil, saya copot jaket, dan saya kembalikan dompet ke tempat semula.
Perlahan saya masuk ke dalam kamar, memandang istri saya dan Kali yang tertidur pulas. Saya ambil hape, menulis pesan kepada Istri, "Diajeng, maaf, aku makan roti punya Kali. Besok coba cari sarapan yang lain ya. Aku lapar banget, je..."
Kemudian saya cium kening Kali. Saya meminta maaf lewat batin. "Sorry ya, Nak... Bapak lapar..."
Kini perut saya lumayan kenyang. Walaupun ada rasa bersalah. Lha tapi mau bagaimana lagi, sudah terjadi je...
(Puthut E.A.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar