Seharusnya sore itu ia bersantai setelah seharian lelah bekerja di kebun kelapa miliknya. Tapi tak berapa lama ia rehat, lantai yang dipijaknya bergoyang hebat. Atap runtuh menimpa seluruh anggota keluarga yang ada di rumahnya.
Pada pukul 17.16 di penghujung September itu, enam tahun lalu, kepala Ali Munir tertimpa reruntuhan rumahnya sendiri. Anak istrinya selamat, namun kedua orangtua yang tinggal bersamanya langsung tewas. Ali sendiri dilarikan ke Rumah Sakit Padang, 70 KM dari kampungnya di Gunung Padang Alai, Padang Pariaman.
Haji Zainir, seorang "pandita" di Pariaman, meminta putrinya yang berprofesi perawat untuk mengawal pengobatan Ali Munir. Pensiunan polisi yang sekarang berumur 70 tahun ini tergerak melihat begitu parahnya kehancuran akibat gempa di kotanya, yang lokasinya memang paling dekat sumber gempa. Di rumah sakit, Ali tak sadarkan diri selama empat hari, dan baru bisa pulang setelah dirawat 2,5 bulan.
Hidupnya kemudian sungguh terjungkir. Kebun kelapa miliknya yang memang berupa lereng, habis longsor karena gempa. Mata pencahariannya musnah. Padahal, sebelumnya kebun itu bisa menghasilkan 2300 butir kelapa tiap bulannya. Dengan harga Rp 1.100 per butir, ia mendapat penghasilan sekitar 2,5 juta. Cukup makmur untuk ukuran masyarakat di kampungnya.
Ia dulu bisa membangun rumah batu--sebutan orang Minang untuk rumah tembok permanen--meski tentu ia tak menyangka bangunan hasil jerih payahnya itu pulalah yang turut merenggut nyawa orangtuanya. Gempa menghancurkan rumah batu itu, lalu ia pindah ke rumah kayu kecil yang dibangun dengan bantuan orang-orang dermawan. Jangan tanya soal bantuan dana dari pemerintah. Meski sudah mengumpulkan persyaratan administratif, keluarganya tak kunjung mendapat bantuan dana rehabilitasi dan renovasi rumah.
Ya, bulan-bulan itu pemerintahan dan negara memang tak hadir untuk Ali. Saat ia terbaring di rumah sakit, lagi-lagi saudara dan tetangganyalah yang bahu membahu supaya anak-istrinya bisa makan dan tetap hidup. Mereka menjadi jaring pengaman untuk keluarga Ali ketika struktur yang seharusnya bekerja tidak ada.
Setelah enam tahun, kini Ali Munir dan keluarganya masih tinggal di "rumah sementara." Keadaannya membuat Ali begitu berat untuk bisa punya lagi rumah batu. Ia kini tetap berladang, tapi bukan pada tanah miliknya lagi. Kaki dan tangannya yang penuh lumpur menjadi saksi bahwa ia bekerja sungguh keras.
Namun posisinya tetap kalah. Dua anak terkecilnya bahkan langsung putus sekolah. Anak ketiganya berhenti di bangku Tsanawiyah. Anak keempat lebih tragis lagi: sekolah dasar pun tak selesai. Fakta yang tak kalah menyedihkan, putus sekolah nampaknya bukan hal yang amat spesial di kampung itu. Wawancara kami sebelumnya mendapati seorang anak awal belasan tahun tak sekolah, sebab ia harus membantu ayahnya berdagang. Sungguh kontras dengan rencana pemerintah untuk menambah tahun wajib belajar.
Ali Munir juga amat menyesali kondisi kedua anaknya. Namun ia tak bisa melawan kenyataan bahwa nasib hidupnya memang sedang terjun bebas. Ia berusaha melawan nasib itu dengan keras, tapi tetap tak bisa memenuhi kebutuhan anaknya untuk terus bisa sekolah. Hasil berladang di ladang orang sangat tak memadai, apalagi jika dibandingkan dengan penghasilannya dulu.
Tapi, yang mengherankan, betapapun ia termasuk korban gempa yang nasib hidupnya paling hancur, Ali-lah satu-satunya yang masih kerap menyelipkan senyum dan tawa saat berbincang dengan kami. Seakan sedang membuat tragedi menjadi komedi, ia tertawa memamerkan ompong kala menunjukkan bekas luka di kepala yang pernah membuatnya koma.
Mungkin Ali Munir sedang mengamini larik Freddie Mercury dalam salah satu lagu Queen yang paling sedih: "Hidup terlalu singkat untuk sekadar diisi dengan tangis."
(Maulida Sri Handayani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar