Kisruh Blok Masela yang berkepanjangan, kisah maju mundurnya proyek kereta cepat tempo hari, atau kontradiksi langkah pemerintah dalam menghadapi rencana divestasi PT Freeport Indonesia yang tak jelas ujung pangkalnya hingga hari ini, merupakan tiga contoh kasus besar bagaimana proses pengambilan kebijakan pemerintah yang tak efektif semakin kecil kaitannya dengan keberadaan partai politik. Jika kita cermati, konflik yang terjadi di tubuh kabinet, misalnya, juga terutama berasal dari atau terjadi antar-para menteri yang berasal dari luar partai politik.
Ini tentu saja menimbulkan pertanyaan: jika pergesekan politik dalam sejumlah penting kebijakan pemerintah tak lagi diwarnai kepentingan partai politik, ini dengan penyederhanaan tentu saja, kenapa kita justru menyaksikan akhir-akhir ini serangan terhadap partai politik justru malah membuncah?!
Mengingat bahwa rezim yang kini berkuasa sering didaku sebagai representasi dari kehendak bebas masyarakat, dimana posisi partai politik pengusungnya pada Pilpres 2014 lalu hanya ditempatkan sebagai pengekor saja, tidak efektifnya pemerintahan sebagaimana yang diwakili oleh maju-mundurnya kebijakan-kebijakan tadi tentu saja bersifat kontradiktif dengan penilaian klasik bahwa partai politik adalah satu-satunya biang keladi dari tidak efektifnya pemerintahan.
Selama ini kita memang selalu mendudukkan partai politik sebagai satu-satunya belenggu bagi pemerintah. Namun rezim saat ini dengan jelas menunjukkan pada kita bahwa anggapan klasik itu kini tak lagi sepenuhnya berlaku. Sandera kepentingan bisa datang dari mana saja, termasuk dari sumber yang hingga kini tak banyak dibahas: para cukong atau pemodal.
Oleh karenanya, menguatnya serangan terhadap partai politik, selain harus diterima sebagai bentuk kritik dan evaluasi yang keras terhadap partai politik, juga harus direspon balik dengan sikap kritis yang penuh hati-hati.
Dari sudut pandang pemodal, dukungan langsung kepada para kandidat memang jauh lebih efektif dan efisien daripada dukungan melalui kelembagaan partai. Persis di sini publik tidak boleh terlena oleh euforia munculnya para kandidat kepala daerah dari jalur perseorangan, yang dipersepsikan independen hanya dari kaitannya dengan partai politik semata, namun tak pernah diperiksa dan ditelusuri independensinya dari kepentingan para cukong dan pemodal yang selalu ingin menunggangi kekuasaan.
Tarli Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar