Andai Saut Situmorang dipenjara, hanya karena ulah kecilnya mengatakan “bajingan!” dalam polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, maka kita akan kehilangan seorang kritikus yang kreatif memainkan “politik performatif” dalam pergaulan sastra Indonesia kontemporer. “Politik performatif”, seperti dianalisis Judith Butler dalam Excitable Speech, adalah suatu politik yang mempermainkan bahasa untuk bereaksi atas perilaku orang lain, dan menjadikan bahasa suatu tindakan politik itu sendiri. Dalam hal ini, Saut melakukan apa yang tidak pernah dilakukan dalam praktik kritik sastra di Indonesia: meleburkan batas antara kritik sebagai “bahasa tinggi” – yang otoritasnya selama ini dijaga oleh para penunggu akademi sastra – dan sumpah-serapah “bahasa rendah”, antara bahasa teori dan bahasa percakapan, antara bahasa diskursif dan bahasa vulgar keseharian.
Apakah ruang sosial/publik berarti ruang yang digunakan untuk tujuan-tujuan sosial/publik, atau sekadar ruang yang diisi oleh anggota masyarakat yang disebut khalayak?
Jumat, 27 Maret 2015
Pengadilan Sastra(wan)
Apa yang Anda ingat jika mendengar kata "puisi"? Chairil Anwar?! Amir Hamzah?! Rendra?! Sutardji Calzoum Bachri?! Sapardi Djoko Damono?! Goenawan Mohamad?! Ah, berarti Anda kuno sekali! Imajinasi puisi Anda sudah membeku. Dan itu artinya Anda hidup dalam mitos ghaib tentang puisi. Sebab, menurut seorang penulis dalam buku ini, "33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh" (2014), Anda juga harus mengingat Denny J.A. Kenapa? Karena Denny J.A. adalah salah satu dari 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh, yang pengaruhnya sejajar dengan Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisjahbana, Iwan Simatupang, Rendra, Ajip Rosidi, dan sejenisnya.
Kamis, 26 Maret 2015
Makian
Ahok kemarin maki maki orang, dan banyak yang dukung. Trus, banyak yang protes soal UU ITE yang katanya bermasalah dan mengekang kebebasan berekspresi. Nah, Saut Situmorang itu gimana dong?
Indikator
Terkait penjemputan paksa penyair Saut Situmorang yang merupakan salah satu indikator dari bangkitnya kekuatan fasis di ranah kebudayaan Indonesia, mari kita kumpulkan dukungan sebanyak-banyaknya untuk melawan! #savesaut (Wijaya Herlambang)
Melawan
"Saya akan melawan dia( Fatin Hamama dan Denny JA). Saya siap melawan!" Begitu kata Saut Situmorang dalam menanggapi kriminalisasi dirinya oleh Polres Jakarta Timur. Ia sekarang sedang bersiap dibawa paksa ke Jakarta dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Fatin Hamama. Kita semua tahu siapa yang berada di balik Fatin Hamama. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan kecuali: Lawan! (Dwi Cipta)
Senin, 23 Maret 2015
Gerakan Mahasiswa
Hampir setengah abad sejak genosida politik 1965-66, rumusan problem politiknya nggak maju-maju. Selalu memandang aksi protes mahasiswa dari kacamata moral. Berhadapan dengan kekuasaan (politik) negara, 'gerakan mahaisswa' dianggap sebagai penjelmaan sosok seorang resi, tanpa pamrih, disanjung-sanjung non-partisan membela rakyat. Kaum terpelajar di negeri ini memang gemar memamah biak mitos! (Harry Wibowo)
Pembangunan (Untuk) Siapa?
Kita terus mengalami gejala deindustrialisasi, dimana sumbangan sektor manufaktur terhadap PDB terus menurun. Dan liberalisasi harga BBM serta tarif listrik telah membuat industri manufaktur kita semakin terpukul. Kenaikan tarif listrik sepanjang 2014, misalnya, telah memukul Krakatau Steel, salah satu BUMN kita yang bergerak di bidang industri dasar yang vital, yaitu produksi baja.
Jumat, 20 Maret 2015
Pejuang dari Rembang
Ibu-ibu para pejuang dari Rembang itu telah pulang ke Rembang. Jauh-jauh mereka dari Rembang ke Yogyakarta, untuk memberi pelajaran kepada orang-orang kampus dan sekolahan tentang “aksiologi”: bahwa ilmu itu, Le, bukan untuk ilmu, bukan untuk korporasi, tapi untuk berpihak kepada penderitaan rakyat. Ilmu itu untuk mengemansipasikan. Mungkin orang-orang Yogya yang pandai-pandai dan sarjana-sarjana itu telah lupa dengan pelajaran aksiologi dasar ini, sampai-sampai butuh ibu-ibu yang tak sekolah itu untuk mengingatkan. Mereka datang untuk mengingatkan agar para “homo academicus” itu tak sembarang menggunakan legitimasi ilmiahnya di dunia yang tak bebas-nilai ini. Para dosen filsafat ilmu mesti malu dan berguru kembali kepada para perempuan luar biasa itu. (Muhammad Al-Fayyadl)
Senin, 16 Maret 2015
Tentang “Teologi Negatif Ibn ‘Arabi”: Sebuah Percakapan
Medio 2013, Achmad Fawaid (AF), seorang peneliti sastra dan pembaca filsafat di Yogyakarta, terlibat percakapan tertulis dengan penulis (MAF) mengenai buku “Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan” (LKiS, 2012). Percakapan panjang itu mendiskusikan dan memperdalam beberapa pembacaan atas buku tersebut, yang dirasakan belum disinggung atau belum tuntas dibahas dalam berbagai resensi atau diskusi buku itu. Belum semua pertanyaan yang lahir dari percakapan itu terjawab, sebagian dibiarkan terbuka dan masing-masing seperti harus berhadapan dengan kebuntuan (aporia)-nya sendiri. Karena sebuah buku yang telah jadi, kata Maurice Blanchot, adalah hampir selalu merupakan sebuah “buku yang akan datang” (“le livre à venir”), demikian pula sebuah percakapan hampir selalu merupakan sebuah percakapan yang tak selesai-selesai (“entretien infini”). Percakapan berikut adalah petikannya.
Selasa, 10 Maret 2015
Jalan-jalan Besar Jogja
Melintasi jalan-jalan besar Jogja, melihat rangka pembangunan mall-mall raksasa baru (dan hotel-hotel), terbayang dalam benak, bagaimana wajah kota ini 20-30 tahun ke depan? Jogja tampaknya tak lagi "alon-alon asal kelakon".
Langganan:
Postingan (Atom)