Setelah monumen Simpang Lima Gumul (SLG) di Kediri (Jatim) yang menyontek arsitektur Arc de Triomphe di Paris, kami melintasi satu lagi ikon kota di Indonesia yang mirip menara Eiffel di Paris, Prancis.
Bangunan ini disebut "Menara Keagungan Limboto" yang terletak di kota Limboto, ibukota Kabupaten Gorontalo. Tingginya 65 meter dan lebar 21 meter. Dibangun mulai 2001 dan diresmikan oleh Wakil Presiden Hamzah Haz pada 20 September 2003 dengan biaya 8,6 miliar rupiah.
Berbeda dengan pemerintah Kabupaten Kediri yang memang mengaku menduplikasi Arc de Triomphe dengan ongkos Rp 300 miliar, saya belum menemukan sumber online resmi yang bisa dirujuk bahwa menara ini memang menyontek menara Eiffel. Tapi juga tidak ada bantahan ketika sejumlah media atau blog mereview-nya sebagai "replika menara Eiffel".
Bila benar, sekali lagi, bangunan ini menggambarkan cara berpikir pejabat publik kita yang: pertama; gagap sejarah, kedua; mental inferior, ketiga; boros dan salah konsep.
Gagap sejarah, karena sebagai kota, sejarah Gorontalo 200 tahun lebih tua dari menara Eiffel yang dirancang Gustave Eiffel pada 1889. Ini sama dengan monumen Simpang Lima Gumul di Kediri yang jadi kerajaan (1042 - 1222) jauh lebih tua dari ide Arc de Triomphe (1806) yang merupakan monumen perang untuk pasukan Napoleon.
Peradaban Kediri dan Paris bahkan terpaut lebih dari 760 tahun, di mana Kediri disebut dalam kronik China (1178) sebagai kerajaan paling makmur setelah China dan Arab.
Inferioritas, karena ini merefleksikan krisis identitas dan menganggap peradaban lain lebih superior dan layak di-imitasi, bahkan menjadi ikon ruang publik. Cara berpikir ini akan terbawa dalam banyak hal: seperti teknologi, pengetahuan, sistem pendidikan, pertanian, bahkan dalam kehidupan politik dan sistem ekonomi.
Boros dan salah konsep, karena di luar negeri, bangunan monumen, patung, atau tugu peringatan selalu dipasang di ruang-ruang terbuka atau ruang publik. Tempat orang bisa duduk dan berkontemplasi atau merenungi makna dari bangunan itu. Di Indonesia, patung, momunemen dll justtu dibangun di pinggir jalan atau di tengah jalanan yang sibuk dan tidak ada ruang publik untuk duduk dan menikmati atau meresapi pesannya.
Patung Jenderal Sudirman atau Soekarno-Hatta di Jakarta yang megah, dibangun di tengah jalanan, yang warganya lebih sibuk memikirkan kemacetan daripada memaknai kehadiran monumen itu.
Ada lagi patung "Cinta Habibie-Ainun" di kota Parepare, Sulawesi Selatan yang dibangun menggunakan Rp2,4 miliar dana APBD dan ditempatkan di ruang publik. Dengan segala hormat pada jasa-jasa Habibie, pemerintah Parepare jelas salah memilih angle cerita yang mencampuradukkan antara kehidupan pribadi dan prestasi Habibie sebagai pejabat publik.
Ruang kebijakan publik menjadi kabur dengan tema film roman yang privat. Sementara yang mestinya menjadi domain publik, justru diserahkan kepada privat: Transportasi.
Ekspedisi Indonesia Biru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar