Setelah gagal menembus mangut lele Mbah Marto (Yogyakarta) --karena menolak diliput tentang filsafat usahanya-- kami menemukan milu siram Tante Oco di Gorontalo. Milu siram adalah sejenis sup jagung, kuliner khas daerah itu.
Warung Tante Oco dibuka mulai jam 10 pagi dan tutup "sampai selesai", yang sebenarnya tak lebih dari tiga jam. Sebab, dagangannya hanya dua panci saja: satu panci jagung kuning dan satu panci jagung putih. Tidak pernah lebih. Padahal, peminat dan permintaan tak pernah sepi.
Ia menolak memperbesar volume penjualan untuk menggenjot omzet atau laba. Ia tak menambah karyawan. Apalagi membuka cabang untuk ekspansi usaha.
"Pernah ada direktur bank makan di sini, lalu menawarkan kredit usaha. Saya bilang 'terima kasih, Pak, saya cukup begini saja'," kata Tante Oco mengulang alasannya.
Alasan sebenarnya karena ia sudah merasa cukup dengan skala usahanya.
"Nanti kami tidak bisa istirahat. Ini saja sudah kecapekan."
Ia memilih kualitas daripada kuantitas. Kelapa dan cabai diolah "manual" tanpa bantuan mesin. Padahal mesin parut atau blander dapat menghemat waktu dan tenaga, sekaligus memperbesar volume dagangannya.
"Kalau pakai mesin itu tidak enak. Sari patinya tidak keluar."
Alhasil, hanya dalam tiga jam, omzetnya bisa mencapai 700-800 ribu per hari. Semangkuk milu siram, ia jual 7.500 rupiah.
Apakah Tante Oco anti-kemajuan? Apakah ia tak punya "naluri bisnis"? Atau tidak ingin kaya? (bersambung)
(Dandhy Dwi Laksono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar