Tante Oco (Ruaida Sunge, 39) hanya dibantu suaminya (Jamaludin Ishak, 51) dan seorang asisten. Setiap pagi, Jamaludin alias Om Anis, berbelanja bahan mentah ke pasar, hingga menyiapkannya sampai siap masak.
Sedangkan Tante Oco mengurus tiga anaknya sampai semua berangkat ke sekolah, dan kemudian bergabung ke warung.
Usaha ini dimulai dari satu meja dengan volume dua liter jagung. Perlu 18 tahun untuk sampai pada enam meja dan dua panci milu siram. Itulah skala bisnis yang dianggap sudah cukup bagi keluarga ini. Meski ia juga melayani pesanan khusus 1-2 panci ekstra bila ada hajatan dengan harga 200-250 ribu rupiah.
"Kalau ada pesanan, bumbunya saya banyakin lagi biar makin terasa," kata Tante Oco.
Di tengah gempuran jagung hibrida di Gorontalo (dan tempat-tempat lain di Indonesia), jagung lokal putih, makin tersisih. Warung milu siram Tante Oco ikut mempopulerkannya kembali.
"Dulu orang tidak suka jagung putih. Yang kuning (hibrida) kan lebih manis. Tapi saya buat bumbunya lebih kuat lagi. Sekarang sudah banyak yang suka jagung putih."
Dari dua panci itu, yang ludes lebih dulu memang selalu jagung kuning. Tapi dua kali kami singgah di sini, jagung putih biasanya menyusul kurang dari 30 menit kemudian.
"Mengapa tidak mau buka cabang, serahkan ke orang lain, dan Tante tinggal mengawasi. Uang akan lebih banyak masuk," pancing kami.
"Sudah banyak yang menawarkan modal atau memberi tempat yang lebih besar di tengah kota atau mal, tapi kalau melihat pengalaman orang lain, biasanya setelah itu malah sepi. Pelanggannya pada takut datang. Maka biarlah seperti ini saja," pungkas Tante Oco.
Ia baru saja melayani dua karyawati restoran cepat saji waralaba Amerika yang buka dari jam 10 pagi hingga 10 malam.
"Kalau tidak cepat, bisa kehabisan milu siram Tante Oco," kata perempuan berseragam KFC itu. (tamat)
(Dandhy Dwi Laksono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar