Selama sepuluh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004 -2014), telah terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh Indonesia.
Konflik ini telah menewaskan 70 orang, dan melukai 553 orang lainnya. Di antara yang luka, ada 110 orang yang tertembak.
Hukum yang tajam ke bawah telah mengirim 1.354 orang ke tahanan.
Konflik agraria di era SBY ini meliputi 5,7 juta hektare lahan, di mana terdapat lebih dari 920 ribu kepala keluarga.
Gaya "pembangunan-isme" Orde Baru yang dilakukan Presiden Joko Widodo tampaknya akan menambah panjang daftar kasus warisan SBY.
Sepanjang perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru ini saja, kami telah merekam kasus semen di Rembang, Teluk Benoa, Lombok Timur, dan Merauke atas nama MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate)
Padahal, banyak kasus yang kami lewatkan mulai Bayah di Banten, PLTU Batang, Jatigede, Urutsewu, Wongsorejo di Banyuwangi, termasuk Lumajang hingga Halmahera yang sedang menghadapi penambangan dan sawit atas nama MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia).
Kita memang tak pernah belajar. Meski konflik ini pula yang menjadi prolog tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah umat manusia setelah pembantaian warga Yahudi oleh Nazi-Hitler: Tragedi 1965.
Politik hanya soal distribusi kekuasaan. Sama sekali bukan hal ihwal mengurus fundamental ekonomi rakyat, yakni hak atas tanah.
(Dandhy Dwi Laksono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar