Hanya 50 meter dari kambing dan ayam yang sedang berebut makanan di pesisir kampung, ada pemandangan ribuan ikan hias dan hutan karang yang memesona.
Inilah taman laut Desa Olele (768 jiwa), Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Jaraknya hanya 30-45 menit dari Kota Gorontalo, dengan kendaraan bermotor.
Konsep wisata di sini bisa menjadi referensi bagi lokasi lain yang belum diincar industri parwisata berbasis modal besar.
Pertama, kawasan ini memang ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah sejak 2006, namun keberlanjutannya melampaui urusan legal formal. Kesadaran warganya cukup tinggi untuk ikut menjaga, meski tanpa kehadiran petugas negara.
Kedua, dengan masuknya pariwisata, warga tidak tergusur dari mata pencaharian utamanya, yakni nelayan tuna. Konsep wisata yang sehat memang tidak boleh menimbulkan kerentanan baru. Ekonomi Bali, adalah salah satu yang rentan. Bila ada travel warning dari negara tertentu, dampaknya akan langsung terasa.
Ketiga, kendati di halaman rumahnya bertabur ikan hias atau ikan-ikan dasar, nelayan Olele memilih menghela kapalnya selama 2-3 jam ke arah 8-10 mil laut untuk mencari tuna. Rata-rata tangkapan mereka 10-20 kg per trip dengan alat tradisional.
Warga desa sepakat melalui peraturan desa, untuk menetapkan zonasi bagi penangkapan ikan. Inilah "rahasia" lestarinya ekosistem bawah laut mereka.
Keempat, segala fasilitas pendukung seperti penginapan, perahu, alat snorkeling, hingga jasa pemandu, dimiliki oleh warga lokal dengan tarif terjangkau. Homestay per malam 200 ribu rupiah dengan tiga kali makan. Sewa perahu-rakit 250 ribu yang bisa mengangkut 5-6 orang, dan alat snorkeling lengkap cuma 50 ribu rupiah.
Model desa ekowisata seperti ini biasanya lebih awet karena memiliki fundamental yang kuat, daripada mendatangkan investor dan menyulap warganya menjadi buruh pariwisata. Lalu mencerabut mereka dari akarnya sebagai nelayan. Satu generasi berikutnya, mereka tak punya lagi ikatan dengan karang yang menjadi pusat hidup ikan. Tanpa ikatan dengan karang, generasi baru ini tak bisa diandalkan secara alamiah untuk menjaga kawasan.
Mereka harus digaji untuk melakukan itu. Jadilah angkatan buruh yang baru. Atau Negara bersama investor akan mendatangkan para penjaga bersenjata dari luar kawasan untuk melindungi ekosistem, seperti yang terjadi di Taman Nasional Komodo. Konflik konservasi vs ekonomi masyarakat pun terjadi.
Ada lagi konsep wisata yang mengisolasi diri, yang meminggirkan masyarakat dengan menjual jargon-jargon seperti "hidden paradise" seperti di Pulau Cubadak, kawasan Mandeh, Sumatra Barat (lihat dokumenter "Onde Mandeh" produksi WatchdoC, 2014). Warga selain tamu dilarang berada di pantai tertentu yang diklaim sebagai area privat.
Konsep-konsep wisata seperti itu hanya membahagiakan satu kelompok saja: mereka yang sanggup membayar mahal.
Olele tak perlu suntikan investasi atau dibangun dengan menjual "obladi, oblada, obligasi". Tak perlu ada Sail Olele, seperti Morotai atau Tomini.
(Dandhy Dwi Laksono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar