Aku tiba di rumah pukul 03.35 pagi. Selama memimpin rapat, aku merasa ada sesuatu yang bolong di diriku. Sebetulnya, aku menunggu 3 telepon.
Telepon pertama yang kutunggu adalah telepon tentang hal yang kurapatkan malam tadi. Telepon kedua dari orang yang butuh masukanku. Masih ada hubungan dengan profesiku, mudahnya, memberi masukan ke orang, dari situ aku dibayar. Telepon ketiga inilah yang kutunggu. Dari seorang sahabat di jauh sana, yang selalu berpesan, "Jangan dilawan."
Telepon pertama dan kedua datang tepat waktu. Tidak untuk yang ketiga. Tapi dia sempat memberi pesan kepadaku, "Coba nikmati dulu tamumu."
Tamu? Tidak ada tamu. Hanya orang-orang dekatku yang rapat di sebuah warung makan yang kebetulan aku punya saham di situ. Tapi aku enggan bertanya. Aku terlalu capek.
Warung mulai sepi. "Aku pamit dulu ya, Mas?" seorang laki-laki agak tambun pamitan kepadaku.
Iseng aku melempar balasan, "Kok cepat sekali pulang?" Warung memang mulai sepi. Makanan sudah habis. Para pengunjung sudah pulang. Beberapa orang yang ikut rapat juga pulang. Rapat yang tidak terlalu bersemangat. Hanya tinggal dua orang bersamaku.
Lali-laki berjaket kuning lusuh itu lantas menjawab, "Soalnya aku tidak diajak ngobrol sama Mas..."
Aku terhenyak. Aku tidak mengajak ngobrol dia? Iya, jelas. Aku tidak kenal dia. Tapi ungkapannya membuatku menyesal. Ada orang yang tidak kuberikan hormatku kepadanya. Hilang keramahanku kepada orang hanya karena kejadian-kejadian yang kualami kah? Rasanya tidak. Tapi mungkin aku harus mengajaknya ngobrol.
"Oke kalau begitu jangan pulang dulu. Kita ngobrol."
Laki-laki itu kemudian duduk lagi. Dua temanku sudah bergeletakan di tikar lesehan sambil asyik memegang hp masing-masing.
Rus, nama laki-laki itu, langsung bertanya kepadaku, "Mas pernah minum baygon?"
Hah, minum baygon? Kok minum baygon?
"Iya, Mas."
Untuk apa?
"Putus cinta, mungkin. Atau apalah, stres kerjaan atau apa..."
Kenapa bertanya begitu?
"Karena aku pernah melakukannya, Mas."
Lha terus kalau kamu pernah melakukannya, masak berarti orang lain pernah juga?
"Ya kan aku cuma bertanya, Mas?"
Terus kamu kok gak mati?
"Gak, Mas. Karena salah minum."
Kok bisa?
"Aku minum baygon celup..."
Apa itu baygon celup?
"Baygon elektrik, aku celupin di air, terus airnya aku minum."
Hah? Bagaimana rasanya?
"Sepet, Mas."
Tapi kamu gak masuk rumah sakit karena itu? Kamu gak mati?
"Ya ini buktinya enggak, Mas."
Aku bingung. Inikah mungkin yang dimaksud dengan 'menikmati' tamuku. Tapi memang benar, sepanjang obrolan, laki-laki bernama Rus ini sangat menghibur. Omongannya berlompatan. Isinya hampir semu keluhan. Tapi lucu. Kadang bikin ngakak.
Tapi aku tetap menunggu telepon. Telepon dari seseorang di luar sana. Dan tidak ada telepon. Hanya ada Rus yang, sumpah mati orangnya lucu sekali. Juga dua temanku yang sesekali menimpali.
"Mas, aku ingin berkarya."
Berkarya apa?
"Bikin film."
Memang kamu bisa pegang kamera?
"Enggak."
Lha terus gak bisa pegang kamera kok pengen bikin film?
"Kan cita-cita. Masak enggak boleh?"
Saya manggut-manggut. Mencoba mengerti. Walaupun sampai langit runtuh, aku yakin tak akan bisa mengerti.
Obrolan asal memburai jauh. Tapi aku tetap menunggu telepon. Hingga hampir jam 03.00 tetap tak ada telepon. Akhirnya kami saling berpamitan. Aku tidak langsung menuju ke rumah, menyetir mobil melalui jalan melingkar menuju rumah. Aku tetap berharap ada telepon malam ini.
Akhirnya telepon yang kutunggu datang. Tak ada basa-basi. "Amati betul apa yang terjadi sepanjang menuju rumahmu. Juga jangan kaget kalau masuk rumah."
Kenapa? Kok jadi seperti kisah misteri begini?
"Sudah alami saja. Aku tak bisa menjelaskan. Aku tak bisa menjelaskan. Tapi siapa tahu itu benar."
Telepon berakhir. Kembali aku menyusuri jalan yang sunyi. Apa kira-kira yang kusaksikan menuju ke rumah? Sampai kira-kira sekilo lagi sampai rumahku, tak ada apa-apa. Aku mulai pesimistis.
Namun segera aku seperti sesak nafas. Mobil kurem mendadak. Harimau? Hah? Harimau? Aku tak percaya, ada seekor harimau melintas di jalan raya. Jalan raya! Harimau itu lantas menghilang di sebuah pintu ruko.
Aku masih merinding. Makin merinding ketika mulai mau masuk ke perumahan tempat rumahku berada. Benar. Tiba-tiba ada puluhan kucing berada di tengah jalan. Mungkin lebih dari 20. Ah, mungkin 50 ekor lebih. Tapi kali ini aku tak mau menghentikan laju mobilku. Kucing-kucing itu minggir. Kemudian lenyap.
Sebuah mobil menyalip mobilku. Aku sempat terkejut karena jalan masuk ke perumahanku ini tak lebar. Kalau simpangan masih mungkin, dan salah satu mobil harus mengalah. Tapi disalip? Hanpir empat tahun aku tinggal di perumahan ini, aku tak pernah disalip apalagi menyalip mobil di jalan kecil ini.
Anehnya, mobil itu masuk ke perumahanku. Segera aku menyusulnya. Namun akhirnya aku harus menerima kenyataan yang aneh. Portal perumahan dalam kondisi terpalang. Satpam yang menjaga keluar dari pos mungilnya.
Pak, tadi mobil rumah nomor berapa yang barusan masuk? Tanyaku penasaran.
Pak Kris, satpam yang berjaga kali ini, bingung. Matanya kriyip-kriyip seperti bangun dari tidur. Wajar jam segini.
"Mobil yang mana, Pak?"
Mobil yang barusan masuk, kayaknya CRV putih...
"Tidak ada, Pak..."
Aku diam. Lalu mengucapkan terimakasih saat lewat portal yang sudah diangkatnya.
Aku sudah malas bertanya-tanya. Tapi anehnya, aku tidak merasa takut sedikit pun. Padahal untuk urusan seperti itu biasanya aku sangat takut.
Pelan aku membuka pintu. Dan Masyaallah! Rasanya aku benar-benar mau pingsan. Ada sekian puluh uang kertas tercecer di lantai rumahku.
Berhati-hati aku melangkah supaya tidak mengubah posisi uang-uang itu. Aku mengambil air putih lalu duduk termangu di kursi. Minum sambil mengamati uang-uang di lantai.
Hingg aku mengambilnya satu persatu. Setelah terkumpul semua, kuletakkan di atas meja, kutindih dengan sebuah buku besar.
Tak sabar aku menelepon sahabatku. Hanya ada nada sibuk dari seberang. Berkali-kali. Tetap tak bisa.
Rasa kantuk yang berat tiba-tiba menyerangku. Tanpa cuci muka dan gosok gigi, aku melempar tubuhku ke atas kasur. Aku sungguh capek sekali.
(Puthut E.A.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar