Pagi ini bolehlah aku merasa lega. Tak ada apa-apa. Tak ada semacam mimpi atau diri yang terbelah. Aku bangun pada pukul 10.25.
Mestinya aku ke kamar mandi, buang hajat, cuci muka, gosok gigi. Tapi aku memilih bermalas-malasan di atas tempat tidur. Seperti liburan. Aku menelepon istri dan anak laki-lakiku yang berumur 3,5 tahun. Pagi ini, mereka akan meninggalkan kampung halamanku untuk diantar ke Kudus. Mereka diantar oleh kedua orang tuaku dan sopir. Nanti malam, biasanya tengah malam, keluarga besar istriku akan menggelar acara di makam Seda Mukti. Lalu dilanjut acara pada keesokan harinya.
Seda Mukti. Kematian yang mulia. Kompleks itu adalah makam bagi raja-raja dari Pantura. Di kompleks itu, disemayamkan nenek dan kakek istriku. Dan di makam itu pula, disemayamkan salah satu tokoh yang paling kukagumi: Sosrokartono.
Tiba-tiba ingatanku terbang ke hari-hari menjelang pernikahan. Sekira dua bulan sebelum menikah, keluarga istriku datang ke Yogya. Tentu bersama calon istriku. Saat itu, calon ibu mertuaku berpesan agar aku mengikuti rangkaian kegiatan. Apa yang disebut dengan 'rangkaian kegiatan' itu, aku tak tahu benar. Tapi aku bersedia ikut saja. Rasa cinta, atau apalah itu, kadang hanya meminta kita membayar dengan kesanggupan tanpa syarat. Tanpa protes.
Malam itu, menjelang pukul 12 malam, satu iring-iringan mobil menelusuri jalana menuju makam Imogiri. Di dalam rombongan itu ada aku dan calon istriku, di dalam mobil yang terpisah. Hujan turun cukup deras.
Sampai di kompleks pemakaman raja-raja itu, tampaknya sebuah upacara sudah dipersiapkan. Aku diarak menuju ke sebuah kamar, telah dipersiapkan sebuah jarik.
Tidak pakai baju? Tanyaku.
Laki-laki yang mengawalku menggelengkan kepala.
Dalam dingin dan deras hujan, semua orang di rombongan itu hanya mengenakan jarik saja. Lalu kami berjalan pelan-pelan. Di tiap titik tertentu, rombongan itu bersimpuh. Berdoa. Berdialog dengan leluhur. Aku diam saja. Tak ada rasa untuk melawan. Walaupun sesekali ingat Tan Malaka dan Pramoedya Ananta Toer. Di dunia entah mana, apakah mereka sedang melihatku melakukan ini?
Rombongan pelan beringsut dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu makam ke makam lain. Makin naik ke atas, kurasakan hujan makin deras. Setiap makam ada prosesi doa. Juga tegur sapa. Hingga tiba di makam paling puncak. Hanya kami berempat yang masuk ke sebuah makam terakhir. Disertai seorang laki-laki sepuh yang dari tadi memandu kami. Rombongan yang lain menunggu di luar.
"Nanti akan ada tanda-tanda apakah direstui atau tidak." bisik laki-laki itu dalam Bahasa Jawa halus kepada calon bapak mertuaku. Aku diam saja. Manut. Semua yang memang harus terjadi, terjadilah. Aku sudah melalui rangkaian panjang dan menegangkan untuk bisa sampai di sini. Sudah kuberikan semua yang sanggup kulakukan. Kalau pun toh leluhur istriku tidak menyetujui, mau apa lagi.
Kami menangkupkan tangan kepada kuburan itu. Jempol tangan kanan menutup lubang hidung sebelah kanan. Ngaras. Demikian juga jempol tangan sebelah kiri. Sebagai tanda hormat.
Kembali dialog panjang terjadi
Bukan dialog, karena hanya satu arah. Tapi juga bisa dianggap sebagai dialog karena seakan-akan ada yang menjawab.
Tepat di saat itu, hujan berhenti. Kami mengakhiri dengan mencium tanah di sebelah makam. Baunya wangi.
Lalu kami turun. Rombongan lebih banyak diam. Tak ada obrolan. Hingga jelas aku dengar laki-laki yang memandu berbisik kepada calon bapak mertuaku, "Dipun pengestoni, Pak..." Diberi restu.
Aku lega. Lalu mencoba mengajak ngobrol laki-laki di sampingku. Tapi dia tidak menjawab sama sekali. Aku berpikir mungkin obrolan dianggap tidak sopan atau tidak pada tempatnya. Hanya saja calon ibu mertuaku terdengar ngobrol pelan dengan calon istriku di arah belakangku. Aku segera menengok, ke arah kananku, memastikan. Tapi tidak ada siapa-siapa.
Segera aku menunggu sejenak langkah calon istriku dan calon ibu mertuaku. Kami berjalan dalam satu barisan. Dengan rasa penasaran, aku bertanya kepada calon istriku: Di mana laki-laki yang dari tadi mengawal di samping kananku?
Istriku menggelengkan kepala. Tidak tahu. Tidak ada seorang pun dari tadi yang berada di samping kananku.
Aku kaget sekali. Calon istriku kemudian berbisik kepada calon ibu mertuaku. Dengan suara lembut, dia berkata, "Sudah, Mas. Ampun dipun penggalih." Jangan dipikir.
Menjelang Subuh, kami sampai di kota Yogya lagi.
Sore harinya, rombongan kecil itu melaju ke Solo. Tapi tak ada yang menarik di sana. Di beberapa titik, aku tak diperkenankan ikut. Lebih banyak upacara itu untuk istriku.
Rombongan balik ke Jakarta. Dua minggu lagi, aku diminta datang ke Kudus. Ke Makam Seda Mukti. Aku lega. Aku suka.
Di kompleks pemakaman itu, entah kenapa, aku merasa nyaman. Teduh. Ada banyak pohon Nagasari. Sebelumnya, aku sudah 2 kali datang ke Seda Mukti.
Dua minggu kemudian, sebuah upacara kecil dimulai di kompleks pemakaman itu. Juga dihelat di tengah malam. Bulan purnama tepat di atas kepala ketika rombongan itu bersimpuh sebelum masuk ke bagian makam terbesar terbesar.
Prosesinya hampir mirip dengan yang terjadi di Imogiri, hanya saja hari tidak hujan, dan aku tidak mengenakan hanya selembar jarik. Melainkan busana beskap lengkap. Mungkin puluhan kali aku harus ikut bersimpuh, ngaras, berdoa.
Rombongan tidak mengunjungi makan Sosrokartono. Hanya aku yang kemudian diantar juru makam ke sana. Setelah sejenak mengirim doa, aku pergi. Tak ada ngaras. Karena tak ada rombongan.
Telepon berdering. Sahabatku yang di seberang.
"Apakah dalam waktu dekat kamu punya janji dengan seseorang?"
Ya.
"Kapan?"
Besok sore.
"Di sebuah tempat dengan nama burung?"
Sebentar. Aku cek dulu. Ya, nama jalan dan gangnya adalah nama burung.
"Kamu akan mendapat petunjuk awal dari sana."
Lalu seperti kisah-kisah di dalam film, telepon ditutup saat aku ingin bertanya lebih jauh.
Aku bangkit. Penasaran pengen melihat apakah uang yang kutindih dengan buku di dinihari tadi masih ada? Ternyata masih. Uang beneran. Berarti aku tidak sedang berhalusinasi.
Tiba-tiba aku merasa lapar. Saatnya makan siang.
(Puthut E.A.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar